Official Website Desa Lemahabang

Sekretariat : Jl. Mbah Muqoyyim No. 3 Desa Lemahabang Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon 45183.

Official Website Desa Lemahabang

Sekretariat : Jl. Mbah Muqoyyim No. 3 Desa Lemahabang Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon 45183.

Official Website Desa Lemahabang

Sekretariat : Jl. Mbah Muqoyyim No. 3 Desa Lemahabang Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon 45183.

Official Website Desa Lemahabang

Sekretariat : Jl. Mbah Muqoyyim No. 3 Desa Lemahabang Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon 45183.

Official Website Desa Lemahabang

Sekretariat : Jl. Mbah Muqoyyim No. 3 Desa Lemahabang Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon 45183.

Sabtu, 20 Juni 2015

Buku Administrasi Bendahara Desa Lemahabang

Dalam Permendagri 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan keuangan desa disebutkan Kepala Desa dalam melaksanakan pengelolaan keuangan desa, dibantu oleh Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD). Siapa saja yang dimaksud dengan PTPKD?

PTPKD Terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris, dan Perangkat Desa lainnya termasuk Bendahara Desa. Dan adanya Bendahara Desa dalam Struktur PTPKD ditetapkan oleh Keputusan Kepala Desa.

Lalu apa saja tugas Bendahara Desa?

Bendahara desa mempunyai tugas untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, membayarkan dan mempertanggung-jawabkan keuangan desa dalam rangka pelaksanaan APBDesa. Bendahara desa harus membuat laporan pertanggungjawaban atas penerimaan dan uang yag menjadi tanggungjawabnya melalui laporan pertanggungjawaban. Begitu banyak tugas dan tanggungjawab bendahara desa sehingga tentulah Bendahara Desa harus memahami pengelolaan keuangan Desa secara baik dan benar.

Pengelolaan Keuangan Desa dimulai dari perencanaan, kemudian diikuti dengan penganggaran, penatausahaan pelaporan, pertanggungjawaban dan diakhiri dengan pengawasan. Dari siklus pengelolaan keuangan desa diatas, bendahara desa menjadi bagian yang cukup penting, terutama pada tahap penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban.

Dalam penatausahaan pengelolaan keuangan desa beberapa pembukuan wajib diselenggarakan oleh bendahara desa. Penatausahaan Penerimaan dan Pengeluaran Desa mewajibkan Bendahara desa membuat Buku Kas Umum, dan beberapa buku pembantu lainnya.

Pemahaman yang baik atas Pengelolaan Keuangan Desa akan sangat membantu para Kepala Desa dan perangkat desa lainnya termasuk bendahara desa. Nah, disinilah pemerintah daerah memainkan peranan yang penting dalam memberikan perhatian atas kapabilitas para penyelenggara pengelola keuangan desa, dengan membuat suatu petunjuk pengelolaan keuangan desa yang lebih rinci dalam rangka penyeragaman penyelenggaraan penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan desa.

Asistensi ataupun bimbingan teknik pengelolaan keuangan desa secara berkesinambungan atas bendahara desa dapat menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan kemampuan para bendahara desa. Tidak saja bimbingan teknik bagi bendahara desa, tetapi juga bagi para Kepala Desa, Sekretaris Desa sehingga diharapkan akan ada pemahaman yang sama atas pengelolaan keuangan desa yang tentunya dapat membantu kelancaran pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.

Lalu apa saja sih Buku Administrasi yang harus dimiliki Bendahara Desa? 

Berdasarkan Permendagri No. 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa inilah Buku Administrasi yang harus dimiliki Bendahara Desa dalam mengelola Keuangan Desa.

Semoga Bermanfaat.

Salam,


YUDHISTIRA
Admin Web | Bedahara Desa Lemahabang 

Selasa, 16 Juni 2015

Warga Perlu Terlibat dalam Pembangunan Desa Lemahabang

Desa Lemahabang – Kesejahteraan dan Kemajuan Desa tidak akan pernah sampai pada target serta keinginan yang diharapkan jika warganya sendiri acuh terhadap jalannya pemerintahan. Warga setidaknya harus tahu Tugas Pokok dan Fungsi Pemerintah di Desanya. Dengan demikian warga bisa memberikan masukan dan kritikan yang diharapkan dapat memperbaiki dan membangun desa ke arah yang lebih baik. Kita boleh melihat ke kanan dan ke kiri membandingkan kemajuan Desa lain dengan Desa kita. Namun jika hanya kritikan dan anggapan negatif di belakang, hal itu tidak akan merubah desa kita menjadi lebih baik.

Kritikan itu harusnya disampaikan, hal yang dilihat kurang, serta berita yang terdengar tidak baik harusnya di klarifikasi kebenarannya. Warga yang mengerti tentang seluk beluk Pemerintahan, Peraturan dan Hukum berhak memberikan masukan dan saran kepada Pemerintahnya.

“Kekurangan manusia tidak terlepas dari kesalahan dan kehilafan, kami sebagai pemerintah desa juga manusia, ada kalanya lupa, dan ada kalanya hilaf. Namun sebisa mungkin kami pun berharap bisa memenuhi keinginan dan harapan warga kami. Kami berusaha berkerja berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintahan yang lebih tinggi dari kami, Dasar Hukum tertinggi berupa Undang-undang Dasar 1945, Peraturan Presiden, Peraturan Mentri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, sampai Dengan Peraturan yang dibuat dan disepakati bersama oleh Pemerintah Desa dan Warga Desa Lemahabang.”

Media online ini dibuat sebagai media informasi yang kami buat untuk kepentingan bersama. Sebagai media untuk menyampaikan informasi tentang Desa Lemahabang khususnya, dan informasi lain pada umumnya. Juga sebagai media untuk menampung aspirasi warga Desa Lemahabang, tempat untuk menyampaikan saran dan masukan, serta hal-hal lain yang dapat bermanfaat bagi kita semua. Juga bermanfaat bagi pembangunan Desa Lemahabang ke arah yang lebih baik.

Penulis : YUDHISTIRA Desa Lemahabang

Jumat, 12 Juni 2015

Dana Desa Topang Kemajuan Pembangunan Daerah

Adanya bantuan dana desa dari pemerintah pusat dengan nilai mencapai Rp 28 Miliar pada Tahun 2015 ini, diyakini Bupati Bolaang Mongondow Utara Drs Hi Depri Pontoh dapat menopang kemajuan pembangunan daerah menjadi lebih cepat.

Sebab, dana tersebut dapat mengcover pembangunan infrastruktur di desa, selain yang teranggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dana desa harus dimanfaatkan dengan benar oleh pemerintah di desa, sehingga dapat terhindar dari persoalan hukum serta mampu menopang kemajuan pembangunan di daerah menjadi lebih cepat.

Pengelolaan dana desa diminta Bupati harus melibatkan masyarakat juga, terutama yang memiliki sumber daya memadai yakni jenjang Strata I (Sarjana) sehingga mampu membuka lapangan kerja baru, untuk mengurangi angka pengangguran di daerah, seperti yang terjadi dua tahun terakhir dari 5,97 persen pada Tahun 2013 menjadi 5,79 persen pada Tahun 2014.

Jika angka pengangguran menurun, maka mengindikasikan daerah kita kian maju dan sejahtera. Jadi, manfaatkanlah dana desa ini untuk menjadikan daerah kita semakin maju dan sejahtera dari tahun ke tahun.

Diolah dari sumber:tribunnews.com, penulis: Warstef Abisada, 8 Juni 2015

Kamis, 11 Juni 2015

Bendahara Desa Jadi Ujung Tombak Bagi Pengelolaan Keuangan Desa Yang Akuntabel

Bendahara desa merupakan ujung tombak penyelenggaraan kegiatan administrasi dan pengelolaan keuangan serta pertanggungjawaban dalam pemerintahan desa yang lebih baik dan akuntabel, apalagi dengan adanya Undang Undang terbaru nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Hal tersebut dikemukakan Sekda Kabupaten Cirebon, Dudung Mulyana kepada RRI (Selasa, 20-05-2015) disela Kegiatan Pelatihan Aparatur Pemerintah Desa dalam Bidang Pengelolaan Keuangan Desa Pemkab Cirebon, Tahun  Anggaran 2015 di salah satu hotel di Cirebon.

Menurut Dudung, survey telah membuktikan banyak para kuwu terlibat urusan keuangan karena mungkin tidak saling mengingatkan baik itu bendahara kepada kuwu atau sebaliknya bahkan mungkin sudah saling mengingatkan namun pura pura tidak ingat.

"Dalam UU tentang Desa nomor 6 tahun 2014 ada kewenangan desa yang luar biasa bahkan kita mendengar ya akan ada anggaran 700 sampai 1 milyar dari APBN atau mungkin lebih kalau digabung dari pemerintah propinsi hampir 115 setiap desa belum dari kabupaten relatif anatara 100 sampai 150, itu dijumlah semuanya ternyata 1,5 lebih uang yang masuk ke desa, bayangkan kalau itu dikelola dengan baik dan benar saya yakin desa mana yang tidak akan maju pasti maju, pasti bersih pasti sejahtera masyarakat" ungkap Dudung.

Sekda Pemkab Cirebon, Dudung Mulyana juga mengingatkan kepada para bendahara desa, apabila APBN yang dijanjikan itu turun , suka atau tidak suka , aparat pemeriksa dari pemerintah pusat seperti BPK, BPKP atau bahkan KPK bisa langsung turun ke lapangan. Jika ada temuan dari BPK dan BPKP dalam waktu 60 hari tidak ditindaklanjuti dimungkinkan untuk berurusan dengan aparat penegak hukum.

Sementara, Kabid Pemerintah Desa dan Kelurahan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Cirebon, Yadi Wikarsa menjelaskan pelatihan tersebut untuk membimbing bendahara desa dalam penatausahaan keuangan terutama ketika ada limpahan anggaran dari pusat.

"Serius dalam pendalaman materi ini, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana materi-materi yang sudah diberikan ini dari teori ataupun ada semacam praktiknya diharapkan bisa diaplikasikan didesa walaupun ada dinamika tersendiri bagaimana proses penyelenggaraan pemerintahan didesa tapi apapun itu harus berpengangan teguh pada aturan supaya nanti dikemudian hari tidak menjadi sandungan buat mereka sendiri" tandas yadi.

Kegiatan Pelatihan Aparatur Pemerintah Desa dalam Bidang Pengelolaan Keuangan Desa Pemerintah Kabupaten Cirebon, Tahun  Anggaran 2015 diikuti 412 bendahara desa selama empat hari dengan materi meliputi pembinaan keuangan, penatausahaan keuangan dan verifikasi, pengelolaan pajak serta kebijakan umum tentang keuangan.

Oleh : Yulianti RRI Cirebon 
http://www.rri.co.id/cirebon/post/berita/80366/ekonomi/bendahara_desa_jadi_ujung_tombak_bagi_pengelolaan_keuangan_desa_yang_akuntabel.html

Rabu, 10 Juni 2015

Mempercepat Pemerataan Pembangunan

Gerakan pembangunan selama ini sering kali jadi bias kepentingan politik. Atmosfir semacam itu berdampak pada pelayanan publik yang tidak merata. Ada desa yang selalu mendapatkan proyek-proyek dari tahun ke tahun, atau bahkan bisa bertumpuk proyek secara bersamaan, namun ada desa yang sama sekali tidak pernah mendapat bagian “kue” pembangunan. Kondisi semacam ini disamping menciptakan kecemburuan antara masyarakat juga membangun rasa enggan, apatis, bahkan kebencian pada pemerintah bagi desa yang tidak pernah kebagian kue pembangunan tersebut.

Dengan adanya Dana Desa, desa-desa yang tertinggal sebagaimana diperlihatkan dari rendahnya kualitas jalan, besarnya penduduk miskin akan memperoleh anggaran yang labih besar. Hal ini karena kebijakan Dana Desa menjawab permasalahan yang krusial di desa tertinggal dengan anggaran yang lebih baik. Skema pemberian Dana Desa yang langsung kepada desa dan dengan jumlah yang begitu besar maka kekecewaan masyarakat terhadap pembangunan merupakan kisah lama, dan kisah lama ini menceritakan betapa mereka tidak pernah didengar oleh pemerintah. Peperintah desa sudah berupaya menyuarakan kepentingan masyarakatnya, tetapi tidak pernah ada dana yang jelas untuk realisasinya.

Kondisi di atas adalah salah satu potret kekecewaan desa karena sudah bertahun-tahun usulan mereka tidak dipenuhi. Desa sudah menganggap tidak perlu lagi membuat usulan karena toh usulan tersebut kemungkinan kecil dipenuhi.

Dana Desa yang menjadi instrumen untuk mengurangi kesenjangan pembangunan desa dari kota. Akses pelayanan publik di kota lebih jauh lebih cepat berkembang dari pada di desa yang membuat budaya masyarakat desa untuk melakukan perantauan ke kota. Mendapat pekerjaan yang lebih baik, mencari ilmu, maupun mengais rejeki yang lain. Adanya Dana Desa bertujuan untuk merubah budaya yang sedemikian rupa, dan beralih dengan kemandirian desa untuk membangun desanya.

Diolah dari sumber: Alokasi Dana Desa, penulis: Sutoro Eko, 2007. (hal 91-93)

Selasa, 09 Juni 2015

RPJMDes 80 Persen Copy Paste, Dana Desa Rawan

JAKARTA– Ruang manipulasi dan korupsi dana desa terbuka lebar setelah diketahui banyak rencana panjang jangka menengah desa (RPJMDes) yang manipulatif. Dana desa hampir dipastikan tidak tepat sasaran.

Dari 150 RPJMDes yang saya teliti secara acak di beberapa pulau di Indonesia, ternyata 80 persennya copy paste dari desa lain atau RPJMDes sebelumnya. Jadi celah manipulasi dan korupsi sudah ada, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor, Sofyan Sjaf.

Langkah copy paste, menurut Sofyan, menjadi kecenderungan hampir semua desa. Pertama, karena masih belum memadainya sumber daya manusia aparatur desa. Kedua, rumitnya format RPJMDesa yang merupakan acuan dalam pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang menjadi syarat pencairan dana desa.

Sofyan mewanti-wanti Pemerintah Desa untuk tidak terlebih dahulu mencairkan dana desa jika memang RPJMDes mereka tidak faktual. Apalagi, saat ini dana desa sekitar 70 persen desa belum sampai di kas desa. Sementara 30 persennya belum cair di tingkat kabupaten.

Pemerintah Desa sebaiknya segera menggelar musyawarah desa bersama Badan Pengawas Desa. Sebagai pengambil keputusan tertinggi sesuai UU Desa,‎ musyawarah desa bisa merevisi RPJMDes menjadi RPJMDes pembaharuan. Selanjutnya, mereka harus menyesuaikan APBDes mereka menjadi APBDes peralihan.

Jika anggaran sudah di kas kabupaten dan ada penghilangan potensi desa yang seharusnya mendapat alokasi dana desa, maka dana desa bisa dialihkan. Menurut Sofyan, pembangunan tidak berarti harus selalu fisik. Penguatan kapasitas aparat desa atau hal lain bisa menjadi pengalokasian baru.

Terlebih lagi ini menunjukkan persiapan dana desa tidak matang. RPJMDes adalah dokumen penting. Ini harus dipertimbangkan oleh legislator agar RPJMDes sesuai dengan agenda perencanaan.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura, Rufinus‎ Hutauruk, mengatakan jika benar terjadi manipulasi RPJMDesa, maka itu sudah termasuk perbuatan melawan hukum. RPJMDes yang kemudian diurai dalam APBDes seharusnya diklarifikasi berulang-ulang apakah benar musyawarah desa pahami seluruh perencanaan. Jika manipulasi APBDes dilakukan, Rufinus mengatakan bisa dipastikan aparat desa akan menjadi sasaran penegak hukum

Diolah dari sumber: pikiran-rakyat.com, penulis: Amaliya, 9 Juni 2015

Dana Desa Harus Jadi Berkah, Jangan Jadi Bencana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI meminta Pemerintah menyiapkan cetak biru (blue print) arah pembangunan desa jangka pendek, menengah, dan panjang berikut indikator kesuksesan yang jelas dan terukur. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Institut for Research and Empowerment (IRE) dan Harian Umum Kompas mengadakan acara diskusi panel, Jumat (5/6) dengan tema “Mengawal Dana Desa”.

Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad mengatakan implementasi pembangunan desa harus jelas dijabarkan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Menurut dia, pembangunan desa harus mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan, termasuk dalam mengelola keamanan dan ketertiban sebagaimana tertuang dalam sejumlah pasal di dalam UU.

Keberadaan Undang-Undang (UU) Desa hendaknya terus dijaga momentumnya serta dikawal pelaksanaannya sehingga tujuan penguatan otonomi asli desa dapat diwujudkan secara sistematis, terencana, dan terukur.

Kemampuan perangkat desa dalam mengelola dana desa menjadi hal yang sangat strategis ke depan. Jangan sampai dana desa yang seharusnya menjadi “berkah” berubah menjadi “bencana” akibat salah urus dan berbagaipenyimpangan (korupsi). Oleh karena itu, kesiapan administrasi dan sumberdaya pengelolaan keuangan desa menjadi mutlak. Pelatihan, pendampingan, dan penguatan kapasitas harus dilakukan berkesinambungan, sistematis, dan terarah.

Momentum UU Desa harus dikelola serius, jangan terlena soal keuangan semata sehingga menjadi pragmatis. Pemerintah harus menyiapkan cetak biru (blue print) arah pembangunan desa jangka pendek, menengah, dan panjang berikut indicator kesuksesan yang jelas dan terukur.

Diolah dari sumber: republika.co.id, penulis: Dwi Murdaningsih, 5 Juni 2015

Senin, 08 Juni 2015

Membangun Budaya Koperasi

Kita memperingati Hari Koperasi, 12 Juli. Ironisnya, UU Koperasi justru dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena itu, Kementerian Koperasi dan masyarakat koperasi sibuk menyusun rancangan undang-undang (RUU) baru yang akan mengarahkan dan melindungi gerakan koperasi di seluruh Indonesia.

Gerakan koperasi, selain memerlukan aturan yang menggariskan struktur dan mekanisme ekonomi koperasi juga memerlukan jiwa, budaya dan semangat kerja sama gotong-royong. Inilah yang kemudian dirumuskan dalam aturan-aturan hukum yang memberi arah dan dinamika gerakan koperasi untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan sebanyak mungkin rakyat yang bekerja cerdas dan keras dengan penuh kepedulian.

Membangun jiwa, budaya dan semangat koperasi dalam suasana persaingan untuk menjadi paling unggul bukanlah merupakan hal yang mudah. Secara naluri-ah setiap orang ingin menjadi yang paling unggul, paling nomor satu dan kalau mungkin menjadi satu-satunya yang ditempatkan di barisan paling depan. Apabila diambil secara sederhana setiap orang ingin menjadi Superman, jarang yang mengusahakan kehadiran suatu super tim yang membuat semua anggota mem-punyai jiwa kebersamaan dan berjuang untuk kemenangan seluruh tim secara keseluruhan.

Ambil saja dalam Timnas Indonesia yang berpenduduk lebih dari 250 juta hampir tidak pernah berhasil membentuk suatu super tim dengan 11 pemain sepak bola yang tangguh dan berhasil membawa nama bangsa di kancah internasional dengan penuh kebanggaan.

Tekanan untuk menjadi nomor satu selalu diiming-imingi dengan slogan bahwa bangsa ini harus sanggup bersaing dengan bangsa lain di seluruh dunia. Tema slogan ini diterjemahkan secara harfiah bahwa setiap individu harus menjadi nomor satu sehingga setiap anak bangsa harus satu demi satu bersaing sesama anak bangsa lainnya. Bahkan akhir-akhir ini dalam pencalonan untuk pemilihan umum, setiap calon, bahkan sesama partai, penempatan pada nomor urut pertama, kedua, ketiga atau seterusnya, menjadi ajang persaingan sesama anggota yang sengit.

Karena itu, dalam kampanye, segala cara ditempuh untuk mengalahkan sesama anggota partainya. Ironis sekali karena dalam satu kelompok para anggota saling bersaing, dan akhirnya sesama pengikut juga terbelahdan persatuan kesatuan dalam suatu partai menjadi pecah. Tidak ada mufakat untuk sepakat dalam pemberian nomor sehingga sesama anggota partai tidak perlu berkelahi dan pengikut partai tidak perlu terbelah serta saling gontok-gon-tokan.

Syarat pertama untuk membangun budaya kerja sama gotong-royong adalah kesadaran diperlukannya kekuatan bersama untuk maju dengan menempatkan kepedulian pada kepentingan yang lebih penting melalui kebersamaan. Kepedulian itu justru terletak pada dinamika yang banyak sekali tergantung pada bagian yang paling lemah sehingga proses gotong-royong bukan hanya memperhatikan kekuatan yang paling kuat, tetapi perhatian pada upaya pemberdayaan yang paling lemah agar seluruh kelompok atau tim berada pada posisi yang semua kekuatannya makin merata. Kekuatan yang makin merata itu akan memungkinkangerak yang lebih dinamis dan kepuasan seluruh kelompok yang mempunyai tanggungjawab bersama.

Dengan demikian, peningkatan kesadaran kebersamaan itu harus diikuti dengan dinamika pemberdayaan untuk meningkatkan mutu mulai dari anggota yang paling lemah melalui sistem berbagi terhadap sesama di mana setiap anggota mempunyai kontribusi sehingga tumbuh kebersamaan yang saling menguntungkan. Kesempatan saling berbagi dan kebersamaan itu menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan yang dinamis karena solidaritas yang tulus disertai perasaan saling harga-menghargai di antara sesamanya.

Dengan kesadaran kebersamaan dan peningkatan kualitas melalui upaya saling peduli itu dihasilkan karya bersama melalui pengembangan tim yang dari hari ke hari akan menjadi super tim yang menghasilkan karya bersama tanpa ada persaingan di antara anggotanya. Hasil super tim yang semula tidak terlalu moncer, dalam waktu yang tidak terlalu lama, apabila dihargai dan dibeli atau diangkat tinggi-tinggi oleh sesama anggota tim akan menjadi ajang peningkatan dinamika kelompok yang membanggakan. Dinamkia kelompok ini akan membe-rikan apresiasi positif, menuai anjuran perbaikan, bukan sekedar kritik yang mematikan, sehingga tumbuh gagasan baru untuk maju.

Gagasan untuk maju ini perlu diikuti dengan apresiasi oleh seluruh anggota tim yang akhirnya menimbulkan nilai positif yang menjalar kepada masyarakat luas. Perkembangan itu akan menghasilkan nilai-nilai positif sebagai awal berkembangnya budaya gotong-royong saling menghargai. Budaya inilah yang kemudian diterjemahkan menjadi aturan yang sesungguhnya bukan untuk membatasi, tetapi untuk mengingatkan bahwa kebersamaan tetap perlu menjadi pedoman bersama untuk dijunjung tinggi sebagai kemenangan bersama.

Karena, prinsipnya adalah kemenangan bersama, maka segala keuntungan suatu koperasi yang diraih oleh kelompok, sejak awal selalu memberi perhatian kepada keuntungan yang bisa dirasakan langsung oleh seluruh anggota. Hal ini agar ada perasaan yang makin mematri kepercayaan bahwa kebersamaan merupakan bentuk perhatian sebagai sumbangan pribadi secara merata kepada semua anggota secara adil.

Diolah dari sumber: keuanganlsm.com, 5 September 2014

Sabtu, 06 Juni 2015

Desa Sumberejo Diyakini Tembus Tiga Besar

DEMAK, suaramerdeka.com – Desa Sumberejo Kecamatan Mranggen maju ke lomba desa tingkat nasional 2015. Desa yang dikenal sebagai sentra kerajinan sangkar burung ini digadang-gadang nantinya bisa meraih peringkat tiga besar.

Sejumlah penilai tingkat provinsi terlihat hadir dalam kunjungan ke desa tersebut, kemarin. Mereka diantaranya dari kalangan akademisi, organisasi profesi jurnalis, Bapermas dan Dinas Pendidikan Jateng.

Bupati Moh Dachirin Said merasa bangga atas kedatangan tim penilai dari provinsi. ‘’Saya berharap Desa Sumberejo bisa meraih juara tingkat nasilnal. Sekalipun standar sudah dipersiapkan tim penilai, namun sebagai manusia wajib hukumnya untuk melakukan ikhtiar agar Demak bisa mewakili Jateng sebagai juara nasional,’’ ujar Bupati.

Sementara itu, ketua tim penilai, Tavip Supriyanto mengatakan, peluang Demak untuk maju ke tingkat nasional sangat besar. Desa Sumberejo sendiri, telah masuk dalam enam besar dari 7.000 desa yang diseleksi. Ia berharap Demak bisa mewakili Jateng untuk maju ke tingkat nasional seperti tahun-tahun sebelumnya.

Kepala Desa Sumberejo, Supriyadi merasa senang atas prestasi tersebut. Salah satu yang membuatnya optimis bisa meraih gelar juara nasional adalah lengkapnya fasilitas yang ada di Desa Sumberejo. Fasilitas ini mulai dari bidang pendidikan hingga kesehatan yang diharapkan dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat desa.

‘’Sumberejo memiliki lima posyandu dan satu posyandu khusus untuk lansia. Selain itu sudah diterapkan aplikasi administrasi kependudukan, sehingga masyarakat yang akan membuat KK dan KTP cukup datang ke balai desa,’’ ungkapnya.

Dari sisi potensi, Desa Sumberejo tersohor sebagai sentra kerajinan sangkar burung, parutan kelapa dan bantal guling. Pemasaran produk-produk tersebut sudah menjangkau pulau-pulau luar Jawa.

(Hartatik/CN34/SM Network)

Sumber : http://berita.suaramerdeka.com/desa-sumberejo-diyakini-tembus-tiga-besar/

DPD Minta Pemerintah Siapkan Blue Print Dana Desa

Jakarta, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI meminta pemerintah menyiapkan cetak biru (blue print) arah pembangunan desa jangka pendek, menengah, dan panjang.

Blue print harus juga berisi indikator kesuksesan yang jelas dan terukur.

“Keberadaan Undang-Undang (UU) Desa hendaknya terus dijaga momentumnya serta dikawal pelaksanaannya sehingga tujuan penguatan otonomi asli desa dapat diwujudkan secara sistematis, terencana, dan terukur,” kata Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad di Jakarta, Jumat (5/6).

Ia mengharapkan implementasi pembangunan desa harus jelas dijabarkan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Antara lain mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan, termasuk dalam mengelola keamanan dan ketertiban sebagaimana tertuang dalam sejumlah pasal di dalam UU.

“Kemampuan perangkat desa dalam mengelola dana desa menjadi hal yang sangat strategis ke depan. Jangan sampai dana desa yang seharusnya menjadi “berkah” berubah menjadi “bencana” akibat salah urus dan berbagai penyimpangan (korupsi)," tuturnya.

Menurutnya, kesiapan administrasi dan sumberdaya pengelolaan keuangan desa menjadi mutlak. Pelatihan, pendampingan, dan penguatan kapasitas harus dilakukan berkesinambungan, sistematis, dan terarah.

Dia menambahkan keberpihakan anggaran untuk desa, baik yang berasal dari pusat maupun daerah, haruslah menjadi stimulus bagi Pemerintah Desa untuk menghasilkan pendapatan sendiri.

Apalagi, UU telah memberikan ruang bagi desa untuk mendapatkan dana yang bersumber dari Pendapatan Asli Desa yang merupakan hasil usaha yang dilakukan di desa.

Sumber : http://sp.beritasatu.com/

Kamis, 04 Juni 2015

Menteri Desa Tak Dapat Mitra Pasti di DPR untuk Pencairan Dana Desa

Jakarta – Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Marwan Jafar menyatakan Kementeriannya belum dapat mitra Komisi yang pasti di DPR. Lalu bagaimana nasib pencairan dana desa?

Menteri PPDT itu menyatakan bahwa tidak adanya mitra Komisi yang pasti dari DPR tidak ada relevansinya sama sekali dengan pencairan dana desa. Mantan Ketua Fraksi PKB di DPR ini menjelaskan rapat dengan komisi di DPR hanya berkaitan dengan pembahasan APBN dan Rencana Kerja. Sementara untuk dana desa, Kemendes (Kementerian Desa) hanya bertugas monitoring dan pendampingan.

Kini pihaknya menunggu DPR untuk menetapkan satu komisi mitra bagi Kemendes. Soalnya, DPR telah berkeputusan hanya ada satu mitra untuk satu kementerian. Namun saat ini PPDT masih mrnggunakan keputusan dewan sebelumnya, yaitu bekerja sama dengan dua Komisi. Sampai nanti menunggu perubahan yang dilakukan dalam rapat paripurna.

Marwan menyebut Kemenristek Dikti dan Kementerian Lingkuhan Hidup sampai saat ini juga masih mempunyai dua mitra komisi di DPR. Padahal seharusnya hanya ada satu mitra untuk tiap kementerian. Kemendes sendiri punya dua mitra di DPR, yakni Komisi II dan Komisi V yang berkaitan dengan pembangunan. Marwan menganggap itu hanya urusan DPR saja. Untuk urusan program dana desa, Marwan dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman itu menjelaskan, tinggal 66 kabupaten dan kota yang belum menyerahkan syarat pencairan dana desa, yakni Peraturan Bupati atau Peraturan Walikota. Diharapkan sisa jumlah itu bisa beres pekan depan.

“Sekarang sudah 80 persen (daerah yang menerima dana desa),” kata Marwan dalam rapat.

Dana desa itu harus disalurkan ke desa-desa maksimal selama tujuh hari setelah disampaikan ke Bupati-Walikota. Marwan menjelaskan, kuasa pengguna anggaran dalam pencairan dana desa adalah Kementerian Keuangan. Kemendes tak memegang uang sepeserpun, melainkan hanya bertugas memantau dan mengawal.
“Kemendes hanya punya kewenangan 20 persen dalam dana desa,” ucap Marwan.

Diolah dari sumber: detik.com, Danu Damarjati, 3 Juni 2015

Dana Desa Jadi Kisah Sukses Desentralisasi Fiskal

JAKARTA, WOL – Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro optimistis, implementasi dana desa akan kembali menjadi salah satu kisah sukses Indonesia dalam penyelenggaraan desentralisasi fiskal. Ia menambahkan, pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia sendiri hingga saat ini dinilai telah membuahkan kesuksesan.

Menkeu mentargetkan bahwa dana desa ini menjadi kisah sukses, success story dari desentralisasi fiskal yang ada di Indonesia. Desentralisasi fiskal yang ada sudah banyak dianggap sebagai kisah sukses, karena banyak negara yang tidak berhasil melakukan desentralisasi fiskal yang baik.

Untuk mendukung suksesnya implementasi dana desa tersebut, pemerintah telah menyiapkan berbagai perangkat hukum yang diperlukan. Berbagai peraturan tersebut telah disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi serta Kementerian Keuangan.

Lebih lanjut Menkeu mengungkapkan, Kementerian Dalam Negeri telah menyiapkan aturan yang terkait dengan konteks pemerintahan desa. Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menyiapkan aturan yang terkait dengan konteks pemberdayaan desa. Sementara, Kementerian Keuangan menyiapkan aturan yang terkait dengan konteks keuangan dan evaluasinya.

Jadi pemerintah pusat pada intinya ingin dana desa ini sukses. Bagaimana menjaga governance atau tata laksana dari pelaksanaan dana desa itu sendiri.

Diolah dari sumber: waspada.co.id, 2 April 2015

Pentingnya Pemerataan SDM yang Berwawasan di Desa

Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang terlalu pesat salah satunya disebabkan oleh makin maraknya urbanisasi yang terjadi. Perpindahan penduduk desa ke kota ini sebenarnya merupakan polemik yang mempunyai banyak keuntungan sekaligus kerugian. Pola pikir warga desa yang yakin bakal lebih sukses menggantungkan harapan di ibukota daripada di kampung halaman tidak selamanya bisa dijamin oleh pemerintah. Salah satu yang membuat arus urbanisasi makin deras adalah karena kurangnya aliran dana strategis dari pemerintah pusat ke desa.

Tahun 2015 diawali dengan program pemerintah via Kementerian Keuangan yang mengusulkan untuk menyiapkan aliran dana ke desa desa di indonesia sebesar Rp 9 triliun pada APBN 2015. Salah satu visi Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah Membangun Indonesia dari Pinggiran dalam kerangka NKRI. Untuk itu perlu dialokasikan dana yang lebih besar untuk memperkuat pembangunan daerah dan desa. Rencananya pada RAPBN-P tahun 2015, pemerintah akan memberikan tambahan alokasi Dana Desa sebesar Rp11.700,0 miliar.

Padahal sebelum era pemerintahan Presiden Jokowi sudah banyak program pedesaan yang dicanangkan oleh pemerintah seperti program pengembangan kecamatan (PPK) dan juga program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri (PNPM). Sayangnya sekali lagi program-program tersebut tidak di dukung dengan SDM yang mau membimbing aparat desa untuk segera mengeksekusi kebijakan pemerintah pusat.

Hal tersebut berujung pada rasa ketidakpercayaan pemerintah pusat pada aparat desa apakah dana dana yang dialirkan bisa dimanfaatkan betul untuk kesejahteraan desa. Apalagi setelah wacana aliran dana desa yang baru dicanangkan Kementerian Keuangan di tahun 2015 yang sumbernya murni berasal dari alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada postur APBN. Sebenarnya bukan masalah besar kecilnya dana, tetapi kesiapan SDM nya itu sendiri.

Apakah pemerintah pusat sudah menyiapkan langkah dan strategi untuk menangani pemerataan ekonomi secara keseluruhan, bukan hanya lewat materi saja tapi juga lewat ilmu dan wawasan untuk pengelolaan dana sehingga hasilnya bisa dirasakan semua warga desa.

Dengan adanya bantuan di bidang peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) aparat desa setidaknya aparat desa lebih aware dengan program pemerintah dan hal ini bisa menguatkan sinergi pemerintahan desa dan pusat sehingga yang namanya korupsi ataupun aliran dana macet bisa diselesaikan sekaligus jika pemerintah berani mengeluarkan sedikit usaha untuk turut serta membangun SDM desa. Mari kita kawal bersama!

Diolah dari sumber: apbnnews.com, 2 Februari 2015

Mengenal Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada APBN-P 2015

Apa itu Kebijakan Transfer ke Daerah & Dana Desa?

Bersumber dari dokumen resmi pemerintah yang dirilis oleh Kementerian Keuangan yang berjudul Budget in Brief APBN-P 2015. Transfer ke Daerah & Dana Desa adalah anggaran yang dialokasikan dalam APBN dengan tujuan untuk:
  1. Meningkatkan kapasitas fiskal daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
  2. Mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah dan mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antardaerah.
  3. Meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah.
  4. Memprioritaskan penyediaan pelayanan dasar di daerah tertinggal, terluar, terpencil, terdepan, dan pascabencana.
  5. Mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur dasar.
  6. Meningkatkan kualitas pengalokasian Transfer ke Daerah dengan tetap memperhatikan akuntabilitas dan transparansi.
  7. Meningkatkan kualitas pemantauan dan evaluasi dana Transfer ke Daerah
  8. Menetapkan alokasi Dana Desa sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
  9. Mendorong peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerah yang lebih efisien, efektif, transparan, dan akuntabel.
Adapun komponen Transfer ke Daerah & Dana Desa dalam APBN-P 2015  terdiri dari Dana Perimbangan, Dana Transfer Lainnya, Dana Keistimewaan DIY, Dana Otonomi Khusus & Dana Desa.

Dana Perimbangan
Merupakan dana yang bersumber dari pendapatan dalam APBN yang dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Alokasi Dana Perimbangan sebesar Rp 521,8 T pada APBN-P 2015.

Alokasi Dana Perimbangan pada APBN-P 2015 terdiri dari tiga komponen, yaitu:
  1. Dana Alokasi Umum (DAU). Yaitu dana yang dialokasikan sebagai alat pemerataan kemampuan keuangan antardaerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antardaerah. Pada APBN-P 2015 dialokasikan DAU sebesar Rp 352,9 T. Untuk Dana Alokasi Umum pada tiap provinsi, dapat dilihat pada grafik di bawah ini (sumber: Budget in Brief APBN-P 2015).
  2. Dana Alokasi Khusus (DAK).
    Alokasi DAK dalam APBNP tahun 2015 direncanakan sebesar Rp 58,8 T, yang mencakup:
    • DAK reguler Rp 33,0 T untuk daerah yang memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis;
    • DAK tambahan untuk afirmasi kepada kabupaten/kota daerah tertinggal dan perbatasan yang memiliki kemampuan keuangan relatif rendah sebesar Rp 2,8 T;
    • DAK untuk Pendukung Program Prioritas Kabinet Kerja (P3K2) dan DAK usulan Pemerintah Daerah yang disetujui oleh DPR RI sebesar Rp 23,0 T.
  3. Dana Bagi Hasil (DBH).
    Dialokasikan kepada daerah bersumber dari pendapatan APBN berdasarkan persentase tertentu guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH tersebut mencakup penyelesaian kurang bayar Rp 11,9 T. Pada APBN-P 2015 DBH dialokasikan sebesar Rp 110,1 T, yang terdiri atas DBH Pajak sebesar Rp 54,2 T dan DBH Sumber Daya Alam sebesar Rp 55,8 T.
Dana Transfer Lainnya
Dana yang dialokasikan kepada daerah untuk melaksanakan kebijakan tertentu berdasarkan undang-undang. Alokasi Dana Transfer Lainnya sebesar Rp 104,4 T pada APBN-P 2015. Tujuan dari alokasi ini adalah untuk:
  • Tunjangan Profesi Guru PNS Daerah Rp 70,3 T untuk guru bersertifikasi;
  • Serta sebesar Rp 1,1 T untuk tambahan penghasilan guru PNS Daerah nonsertifikasi.
  • Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Rp 31,3 T untuk menstimulasi penyediaan anggaran pendidikan di daerah.
  • Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) Rp 0,1 T dialokasikan sebagai insentif kepada daerah percontohan Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi.
  • Dana Insentif Daerah Rp 1,7 T diberikan kepada daerah berprestasi. DID diberikan agar daerah berupaya untuk mengelola keuangannya dengan lebih baik yang ditunjukkan dengan perolehan opini WTP/WDP Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan pemerintah daerah dan menetapkan APBD secara tepat waktu.
Dana Keistimewaan DIY
Adalah dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan urusan keistimewaaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp 0,5 T pada APBN-P 2015, yang meliputi:
  • Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur;
  • Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
  • Kebudayaan;
  • Pertanahan; dan
  • Tata ruang.
Dana Otonomi Khusus
Diberikan kepada daerah-daerah yang menjalankan otonomi khusus, yaitu Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Aceh. Alokasi Dana Otonomi Khusus sebesar Rp 17,1 T pada APBN-P 2015.

Alokasi tersebut naik sebesar Rp 500,0 miliar atau 3,0 persen dari pagunya dalam APBN tahun 2015 yang sebesar Rp 16,6 triliun. Kenaikan alokasi dana otonomi khusus tersebut disebabkan adanya kenaikan dana tambahan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Dana Desa
Adalah dana yang bersumber dari APBN untuk desa melalui mekanisme transfer melalui APBD kabupaten/kota yang digunakan untuk membiayai pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.

Sejalan dengan visi Pemerintah untuk “Membangun Indonesia dari Pinggiran dalam Kerangka NKRI”, dialokasikan dana yang lebih besar pada APBNP 2015 untuk memperkuat pembangunan desa. Pengalokasian Dana Desa dilakukan dengan menggunakan alokasi yang dibagi secara merata dan alokasi yang dibagi berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan, dan tingkat kesulitan geografis. Dengan tambahan anggaran sebesar Rp11,7triliun, jumlah Dana Desa yang dialokasikan pada  APBN-P 2015 mencapai Rp 20,8 T.

Diolah dari sumber: apbnnews.com, 11 April 2015

Perubahan Apa Saja yang Ada dalam PP 60 Tahun 2014?

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang perubahan PP Nomor 60 Tahun 2014. PP ini dia tandatangani karena PP yang lama tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN atau PP Dana Desa dalam implementasinya dinilai belum menjamin pengalokasian Dana Desa secara lebih merata.

Seperti dilansir laman Sekretariat Kabinet, beberapa poin penting dalam perubahan itu adalah misalnya pada Pasal 9 menjadi: “Pagu anggaran Dana Desa merupakan bagian dari anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa”. Sebelumnya, bunyi pasal ini adalah “Pagu anggaran Dana Desa yang telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat merupakan bagian dari anggaran Transfer ke Daerah dan Desa”.

Sementara Pasal 10 kini diubah menjadi terdiri dari 2 (dua) ayat, yaitu: 1. Pagu anggaran Dana Desa yang telah ditetapkan dalam APBN dapat diubah melalui APBN Perubahan; 2. Perubahan pagu anggaran Dana Desa tidak dapat dilakukan dalam hal anggaran Dana Desa telah mencapai 10% dari dan di luar dana Transfer ke Daerah. Dalam PP sebelumnya, tidak ada ketentuan mengenai batasan 10% itu.

Perubahan juga terjadi pada Bab Pengalokasian yang tertuang pada Pasal 11. Pasal ini kini menjadi: 1. Dana Desa setiap kabupaten/kota dihitung  berdasarkan jumlah Desa, 2. Dana Desa dialokasikan berdasarkan: a. alokasi dasar; dan b. alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan greogafis desa setiap kabupaten/kota, 3. Tingkat kesulitan ditunjukkan oleh indeks kemahalan konstruksi, 4. Data jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan indeks kemahalan konstruksi bersumber dari kementerian yang berwenang, dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistic, 5. Dana Desa setiap kabupaten/kota ditetapkan dalam peraturan presiden mengenai rincian APBN.

Pada PP sebelumnya aturan mengenai pengalokasian itu tampak lebih rumit karena didasarkan pengalokasian antara jumlah Desa di setiap kabupaten/kota dan rata-rata Dana Desa setiap provinsi. Selain itu dalam PP No. 60/2014 juga menggunakan rumus angka prosentase dalam penentuan bobot luas wilayah, jumlah penduduk, dan angka kemiskinan setiap Desa.

Adapun dalam tahapan penyaluran dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 juga ada revisi Pasal 16 di PP sebelumnya, sehingga menjadi: “Penyaluran Dana Desa dilakukan secara bertahap pada tahun berjalan dengan ketentuan: a. tahap I bulan April sebesar 40%, b. tahap II pada bulan Agustus sebesar 40%, dan tahap III pada bulan Oktober (sebelumnya November) sebesar 20%.

Penyaluran Dana Desa setiap tahap itu dilakukan paling lambat minggu kedua, dilakukan paling lama tujuh hari kerja setelah diterima di kas Daerah, dan apabila bupati/wali kota tidak menyalurkan Dana Desa dengan ketentuan sebagaimana dimaksud, Menteri Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Bagi Hasil (DBH) yang menjadi hak kabupaten/kota yang bersangkutan.

Dalam hal terdapat Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) lebih dari 30% pada tahun anggaran sebelumnya, menurut pasal ini, bupati/walikota memberikan sanksi administratif kepada  Desa yang bersangkutan.  “Sanksi sebagaimana dimaksud berupa penundaan penyaluran  Dana Desa tahap I anggaran berjalan sebesar SiLpa Dana Desa,” bunyi Pasal 27 Ayat (2) PP No. 22 Tahun 2015 itu.

Dalam hal  pada tahun anggaran  berjalan masih terdapat SiLPA Dana Desa lebih dari 30%, maka bupati/walikota akan memberikan sanksi administratif kepada Desa yang bersangkutan berupa pemotonga  Dana Desa tahun anggaran berikutnya  sebesar SiLPA Dana Desa tahun berjala.

“Pemotongan penyaluran Dana Desa sebagaimana dimaksud menjadi dasar Menteri untuk melakukan pemotongan penyaluran Dana Desa untuk kabupaten/kota tahun anggaran berikutnya,” bunyi Pasal 27 Ayat (3) PP tersebut.

Menurut PP ini, pengalokasian Dana Desa dalam APBN dilakukan secara bertahap, yang dilaksanaka sebagai berikut: a. Tahun Anggaran 2015 paling sedikit sebesar 3% , b. Tahun Anggaran 2016 paling sedikit 6%, dan Tahun Anggaran 2017 dan seterusnya sebesar 10% dari anggaran Transfer ke Daerah.

“Dalam hal APBN belum dapat memenuhi alokasi anggaran Dana Desa sebagaimana dimaksud, alokasi anggaran Dana Desa ditentukan berdasarkan alokasi anggaran Dana Desa tahun anggaran sebelumnya atau kemampuan keuangan negara,” bunyi Pasal 30A PP tersebut.

Pasal 33A PP No. 22 Tahun 2015 ini menegaskan, pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemeritah Nomor 60 Tahun 2014 harus disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.

“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal II Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada tanggal 29 April 2015 itu.

Diolah dari sumber: viva.co.id, penulis: Nila Chrisna Yulika, 17 Mei 2015

Kembangkan 2.000 BUMDes, Pemerintah Akan Beri Rp 250 Juta per Desa

JAKARTA, KOMPAS.com – Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) menargetkan pembentukan 2.000 Badan usaha miliki desa (BUMDes) hingga 2019 nanti. Untuk mewujudkan target tersebut, pemerintah pun akan memberikan Rp 250 juta kepada desa.

Untuk tahun 2015, pilot project program dari PPDT yaitu membuat proyek 2.000 BUMDes . Dananya Rp 250 juta untuk satu desa,yang akan disalurkan langsung ke desa. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Menteri PDT Marwan Djafar di Kantor Bappenas, Jakarta, Senin (27/4/2015).

Menurut Marwan, pembentukan BUMDes sangatlah penting untuk meningkatkan perekonomian masyarakat desa. Saat ini ada sekitar 43.000 desa pembangunannya mesti diprioritaskan karena masuk kategori desa tertinggal.

Lebih lanjut, kata dia, desa tertinggal tersebut tersebar di berbagai wilayah khususnya di timur Indonesia yaitu Papua, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Marwan menuturkan nantinya dana Rp 250 juta itu bisa digunakan untuk membentuk BUMDes baru atau pun mengembangkan BUMDes yang sudah ada. Misalnya kata dia, dana itu juga bisa digunakan untuk pengembangan sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Saat ditanya realisasinya, Marwan menjawab sudah menyiapkan berbagai petunjuk teknis (Juknis), petunjuk pelaksanaan (Juklak). Diharapkan nantinya program tersebut dapat mampu mengembangkan ekonomi masyarakat di pedesaan.

Diolah dari sumber: kompas.com, Yoga Sukmana, 27 April 2015

Hati-hati Penipuan Jadi Pendamping Dana Desa

JAKARTA, (PRLM).- Indikasi penipuan yang mengatasnamakan rekrutmen pendamping dana desa terjadi di Kabupaten Tasikmalaya. Mereka yang berminat menjadi pendamping, diminta membayar uang administrasi Rp 500.000. Setelah diterima sebagai pendamping dana desa, pemungut meminta uang hingga senilai gaji.

“Saya bingung. Kok pakai uang segala dan tidak melalui aparat desa. Sudah ada beberapa teman saya yang menyetor ke orang ini. Dia mengaku itu rekrutmen untuk menjadi pendamping kecamatan UU Desa,” ujar Neng (bukan nama sebenarnya), kepada “PR” Online, Minggu (31/5/2015).

Neng menuturkan, orang yang dimaksud mengaku bernama Sal (inisial). Neng menceritakan, banyak orang yang sudah mendaftar secara langsung ke rumah Sal ‎di Cidoyang, Kecamatan Padakembang. Kepada orang-orang yang ditargetkannya, Sal menjamin SK pengangkatan akan turun jika mereka memberikan uang administrasi. Bahkan, Sal mengumbar bahwa dirinya dipercaya langsung oleh Dirjen terkait sehingga sudah pasti orang yang mendaftar kepadanya akan menjadi pendamping dana desa.

“Bahkan dia juga mengatakan ada orang-orang titipan bupati dan wakil bupati yang sudah diplot ke kecamatan A, B, C, dll. Jadi seolah bupati dan wabup merestui orang ini,” ujar Neng.

Untuk mendaftar, warga menyerahkan sejumlah dokumen pribadi seperti curriculum vitae, ijazah, dan transkrip nilai. ‎Selanjutnya, pendaftar mengisi daftar buku dengan identitasnya seperti nama dan nomor telepon. “Mereka tidak diberi kuitansi meski sudah membayar,” kata dia.

Dengan janji pasti diterima, lanjut Neng, hal itu menggiurkan banyak orang. Apalagi, mereka yang sebelumnya bekerja saat ada program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), kini banyak yang menganggur setelah program itu dilebur di dalam dana desa itu.

Perjanjiannya, jika nanti telah diterima, maka pendaftar harus menyetorkan sisa uang sehingga uang yang disetorkan ke pemungut sesuai dengan gaji pendaftar. “Misalnya nanti gaji pendamping Rp 6 juta, jadi harus bayar lagi ke dia Rp 5,5 juta karena sudah bayar Rp 500.000 di awal,” tutur dia.

Neng ‎merasa resah dengan praktik pemungutan itu. Jika praktik itu ilegal, akan banyak orang yang dirugikan. “Seharusnya ada kejelasan seperti apa rekrutmen pendamping dana desa itu. Mereka yang mencari pekerjaan tahu harus ke mana untuk bisa mendaftar,” kata dia.

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Arwani Thomafi, menegaskan tidak boleh ada pungutan apapun dalam proses rekrutmen pendamping dana desa. “Rekrutmen juga harus benar-benar selektif dan sesuai dengan panduan umum proses rekrutmen tenaga pendamping sebagai implementasi Undang-Undang Desa yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal,” kata dia.

Di dalam panduan tersebut disebutkan, secara garis besar proses rekrutmen pendamping terdiri dari lima tahapan pokok yaitu pemetaan kebutuhan, pengumuman, selektif pasif, seleksi aktif melalui wawancara, fokus group discussion dan tes tertulis, serta pembekalan melalui pelatihan. Rekrutmen pendamping pun harus menyeleksi pelamar sesuai kompetensi yang ditetapkan dan merekrut pendamping sesuai kebutuhan.

Diolah dari sumber:pikiran-rakyat.com, penulis: Amaliya, 1 Juni 2015

Jatah Dana Desa Rp 1 Miliar Tak Terserap

TEMPO.CO, Yogyakarta – Peneliti Institute Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, mendesak pemerintah kabupaten membantu pemerintah desa agar segera menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

Saat ini, sebagian desa banyak yang belum merampungkan APBDes sehingga laju penyerapan jatah Dana Desa dan Alokasi Dana Desa (ADD) melambat. IRE berpendapat Kabupaten harus melakukan supervisi, bukan malah menakut-nakuti pemerintah desa.

implementasi UU Desa akan berjalan lancar apabila Pemerintah Kabupaten serius mengawal pemerintah desa menjalankan semua agendanya. Selama ini Undang-undang Desa tak hanya bicara masalah dana, tapi juga pengelolaan aset, tata pemerintahan, urusan pelayanan publik hingga demokrasi desa. Tapi akibat supervisi dari kabupaten minim, implementasi UU Desa menjadi lambat dan malah terjebak melulu ke isu dana.

Pihak IRE optimistis, apabila pemerintah desa mau kreatif dan mendapatkan supervisi secara aktif dari pemerintah kabupaten, anggaran akan cepat terserap. Arie memperkirakan jatah Dana Desa sebesar Rp 1 miliar sekalipun bisa cepat terserap.

Saat ini, Dana Desa yang hanya sebesar Rp 270 juta tak kunjung terserap karena pemerintah desa dibayangi oleh mekanisme penganggaran yang rumit. Arie (peneliti IRE) mengatakan supervisi pemerintah kabupaten perlu dilakukan dengan berkomitmen membantu banyak urusan di desa, mulai dari penyusunan regulasi, sistem pengelolaan anggaran, tata kelembagaan pemerintahan, arah orientasinya dan lainnya.

Arie mengingatkan, implementasi UU Desa akan justru banyak membantu penuntasan beragam urusan yang selama ini membebani pemerintah kabupaten. “Kabupaten jadi kunci implementasi UU Desa, ditambah lagi provinsi dan kementerian harus serius mengawal agenda pelaksanaannya,” kata Arie.

Adapun Menteri Sekretaris Negara, Pratikno mengatakan penyusunan APBDes di semua desa akan mempercepat proses penyerapan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa yang sudah masuk ke penganggaran pemerintah kabupaten.

Diolah dari sumber: tempo.co, penulis: Addi Mawahibun Idhom, 31 Mei 2015

Pemda Jangan Memperlambat Transfer Dana Desa

Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia diminta agar tidak memperlambat proses transfer dana desa dari Kementerian Keuangan kepada setiap desa yang sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan dana tersebut.
Menteri Desa Marwan Jafar sendiri mengharapkan jangan sampai ada miskomunikasi seakan-akan dana desa masih mengendap di pemerintah pusat. Ia meminta kepada Pemerintah Daerah yang sudah menerima transfer dana desa segera menginformasikan dan merealisasikan kepada desa-desa wilayahnya masing-masing.

Informasi yang diterima dari Kementerian Keuangan, memang masih ada daerah yang belum menerima dana desa. Masih sekisaran 80-an kabupaten dari 434 kabupaten dan kota . Dan itu sebagian besar di wilayah Indonesia Timur. Supaya segera direalisasikan dan dana desa itu bisa dimanfaatkan. Bagi desa-desa yang sebenarnya sudah mempersiapkan seluruh persyaratan sebagai penerima dana desa, lanjut Marwan bisa mengecek langsung kepada pemda masing-masing. Sehingga, dana desa itu bisa segera direalisasikan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Mengenai besaran dana yang diterima, bisa dicek dan ditanyakan langsung kepada Pemerintah Daerah dan Kementerian Keuangan sebagai Kuasa Pemegang Anggaran. Karena Menteri Desa tidak terkait sama sekali soal transferan dana desa. Perlu diketahui, dana desa itu tidak ada mampir sesen pun di Kementerian Desa. Dana itu langsung dikelola oleh Kementerian Keuangan yang langsung ditransfer kepada daerah-daerah.

Marwan menambahkan, terkait dana desa dilakukan oleh lintas kementerian, yakni Kementerian Keuangan sebagai kuasa anggaran, Kementerian Dalam Negeri terkait Pemerintahan di daerah, dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang akan memonitoring penyerapan dana desa.

Dan bagi desa yang segera menerima dana itu, Menteri Marwan mengatakan, harus segera mempersiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa. Peruntukannya harus jelas dan disesuaikan dengan rencana PPJM Kabupaten atau kota.

Diolah dari sumber: kompas.com, penulis: Tri Wahono, 2 Juni 2015

Masa Jabatan BPD dan Hak serta Kewajiban sebagai Anggota BPD

Masa Jabatan anggota BPD adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3(tiga) kali berturut – turut atau tidak berturut – turut . masa keanggotaan BPD selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji. Pimpinan BPD terdiri dari atas 1 (satu) orang sekretaris. Ketentuan terebut termasuk dalam UU No. 6/2014 tentang Desa . Persayaratan calon anggota Badan Permusawaratan desa dalam UU No. 6/2014 Menyebutkan :
  • Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  • Memegang teguh dan mengamalkan pancasila, melaksanakan Undang – undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika
  • Berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah pernah menikahd
  • Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat
  • Bukan sebagai perangkat Pemerintah desa
  • Bersedia dicalonkan menjadi anggota Badan Permusawaratan desa; dan
  • Wakil penduduk Desa yang dipilih secara demokratis.
Rapat pemilihan Pimpinan BPD untuk pertama kali dipimpin oleh Anggota Tertua dan dibantu oleh anggota termuda. Pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD secara langsung dalam rapat BPD yang diadakan secara khusus. Peresmian pengangkatan anggota BPD ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota, yang sebelum memangku jabatanya mengucapkan sumpah/janji secara bersama – sama dihadapan masyarakat yang dipandu oleh Bupati/Walikota. Anggota BPD Mempunyai Hak :
  • Mengajukan rancangan peraturan desa
  • Mengajukan Pertanyaan
  • Menyampaikaa usul dan pendapat
  • Memilih dan dipilih; dan
  • Memperoleh tunjangan/penghasilan
Anggota BPD dilarang:
  • Merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat Desa , dan mendiskriminasikan warga atau golongan Masyarakat Desa
  • Melakukan Korupsi,Kolusi Dan Nepotisme,Menerima Uang,barang, dan /atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukanya
  • Menyalahgunakan wewenang
  • Melanggar sumpah/janji jabatan
  • Merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa
  • Merangkap sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia , Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia,Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota,dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan
  • Sebagai pelaksana Proyek Desa
  • Menjadi pengurus Partai Politik; dan/atau
  • Menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang.
Anggota BPD mempunyai kewajiban:
  • Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila,melaksanakan Undang – undang Dasar Republik Indoesia Tahun 1945,serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bihneka Tunggal Ika
  • Melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa
  • Menyerap,menampung,menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat desa
  • Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi,kelompok,dan/atau golongan
  • Menghormati Nilai Sosial budaya dan adat istiadat Masyarakat Desa; dan
  • Menjaga Norma dan etika dalam hubungan kerja dengan Lembaga Kemasyarakatn Desa.
Selain kewajiban seperti tertuang dalam Pasal 63 UU No. 6/2014, BPD berkwajiban mempertanggungjawabkan Anggaran Operasional dan Tunjanganya yang bersumber dari APB Desa .Dalam hal ini Kepala Desa berhak meminta pertanggungjawaban keuangan BPD dan lembaga – lembaga kemasyarkatan lainya seperti Karang Taruna, LPM,dan PKK sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan Pemerintahan Desa ( Lihat Kotak 7 ) Untuk pemenuhan Administrasi,BPD wajib memenuhi Administrasi Permusawaratan Desa yang mencakup Kegiatan Pencatatan Data dan Informasi mengenai BPD sebagaimana tertuang dalam Permendagri No. 32/2006 tentang Pedoman adminstrasi Desa.
Administrasi BPD yaitu melakukan pencatatan data dalam informasi mengenai BPD,Meliputi:
  • Data anggota BPD
  • Data keputusan BPD
  • Data kegiatan BPD
  • Data secretariat BPD yang terdiri dari:
    • data agenda
    • data ekspedisi
Dalam kegiatan Pertanggungjawaban Administrasi dan Pengelolaan Anggaran BPD,maka mereka tetap harus menjaga kualitas dan kuantitas kinerjanya.BPD melaksanakan tugas sesuai dengan beban kerja dan tanggungjawab yang telah menjadi ketetapan BPD.Kemudian secara rutin setiap tahun membuat laporan kinerja BPD untuk disampaikan kepada Kepala Desa.Laporan itu dilampirkan dalam LPPD (Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa) dan LKPP (Laporan Keterangan Penyelenggara Pemerintahan) yang dibuat oleh Kepala Desa.

Diolah dari sumber: desabombana.com, 30 Juni 2014

Anggota BPD dan Jumlah Anggota BPD

Keanggotaan BPD adalah wakil dari penduduk/warga desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota BPD berperan sebagai wakil masyarakat yang dapat terdiri dari Ketua Rukun Warga, Pemangku Adat, Golongan Profesi, Pemuka Agama, Tokoh Perempuan, kelompok kelembagaan local atau pemuka masyarakat lainya. Dalam UU No. 6/2014 diatur bahwa anggota Badan Permuswaratan Desa merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisianya dilakukan secara demoratis. Proposional jumlah anggota BPD sangat dianjurkan sesuai dengan keterwakilan kelompok–kelompok atau pusat-pusat (basis) kekuasaan di Desa, misalnya keterwakilan tokoh–tokoh agama/adat, perempuan, kelompok tani/nelayan, maupun kelompok–kelompok lokal.

Adapun Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah dapat mengatur lebih lanjut mengenai BPD yang substansina mencakup :
  1. Persyaratan untuk menjadi anggota sesuai dengan kondisi social budaya masyarakat setempat;
  2. Mekanisme musyawarah dan mufakat penetapan anggota;
  3. Pengesahan penetapan anggota;
  4. Fungsi dan Wewenang;
  5. Hak, Kewajiban dan larangan;
  6. Pemberhentian dan masa Keanggotaan;
  7. Penggantian anggota dan pimpinan;
  8. Tata cara pengucapan sumpah/janji;
  9. Pengaturan tata tertib dan mekanisme kerja;
  10. Tata cara menggali, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;
  11. Hubungan kerja dengan kepala Desa dan lembaga Kemasyarakatan; dan
  12. Keuangan dan administratif.
Diolah dari sumber: desabombana.com, 30 Juni 2014

Bagaimana Mekanisme Pembentukan BPD?

Model pemilihan/pembentukan Anggota BPD disesuaikan dengan kedudukan Desa. Sebagai penyelengara Pemerintahan Desa dan Pengambil Keputusan,maka Anggota BPD adalah wakil dari Penduduk Desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara Musyawarah dan Mufakat. Cara pemilihan/penetapan anggota BPD dapat melalui pemilihan langsung, dipilih perwilayah kampung/dusun, atau dipilih secara musyawarah.

Hasil pemilihan/musyawarah dikirimkan ke Desa untuk keterwakilan Desa. Pemilihan/penetapan anggota BPD dipilih di Desa dengan pertimbangan – pertimbangan dan persetujuan hasil musyawarah . Jumlah anggota BPD di masa lalu ditetapkan dengan jumlah ganjil,paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (seblas) orang,dengan memperhatikan luas wilayah, keterwakilan perempuan minimal 30% dari jumlah anggota BPD, jumlah penduduk , dan kemampuan Keuangan Desa. Dalam UU No. 6/2014 diatur bahwa jumlah Anggota Badan Permusawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah Gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (Sembilan) orang,dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk dan Kemampuan Keuangan Desa.

Ketentuan yang terakhir iniah yang sekarang menjadi acuan dalam penyusunan Keanggotaan BPD. Lebih Jelas dan lengkapnya pembentkan Aggota BPD dapat kita lihat dalam pasal 56 UU No. 6/2014 yang menyebutkan : (1) Anggota Badan Permusawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisianya dilakukan secara Demokratis. (2) Masa keanggotaan Badan Permusawarakatan Desa selama 6 (enam) Tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji. (3) Anggota Badan Permusawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut.

Diolah dari sumber: desabombana.com, 30 Juni 2014

Urgensitas Keberadaan BPD

Badan Permusyawaratan Desa, menurut UU No. 6/2014 yang disingkat BPD, adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Desa sebagai unsur Penyelengara Pemerintahan Desa. Dalam UU No. 6/2014 tentang Desa, rumusan mengenai kedudukan BPD sudah mengambarkan fungsi representatifnya dengan menekankan makna Badan Permuswaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan Wakil dari Penduduk Desa berdasarkan keterwakilan Wakil dari Penduduk Desa berdasarkan keterwakilan Wilayah yang ditetapkan secara Demokratis . Sebagai perwujudan Demokrasi dalam Penyelengaraan Pemerintah Desa,BPD memiliki kedudukan penting dalam Sistim Perintahan Desa.

Sebagai mitra Kepala Desa, kedudukan BPD diperlukan untuk membahas rancangan peraturan desa bersama Kepala Desa serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Dalam membahas rancangan peraturan desa dengan Pemerintah Desa menurut UU No. 6/2014 , BPD mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Pemerintah Desa dapat duduk bersama dan mengadakan musyawarah dalam membuat kesepakatan tentang Peraturan Desa. Dalam UU No. 6/2014 pasal 55 menyebutkan Badan Permuswarakatan Desa mempunyai fungsi ayat (a) membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama Kepala Desa.

Tujuan pembentukan BPD di setiap Desa adalah sebagai wahana/wadah untuk melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelengaraan Pemerintahan Desa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kedudukanya sebagai mitra Pemerintah Desa, BPD memiliki posisi yang setara dengan Kepala Desa, yaitu sebagai salah satu unsur penyelenggara Pemerintah Desa. Pada hakikatnya, BPD sebagai Kanal (Penyambung) aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa (Perdes) dan peraturan Kepala Desa. Hal itu berarti BPD menjadi penyeimbang (Checks and balances) bagi Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa.

Inovasi fungsi BPD sebagai penyeimbang bagi Pemerinah Desa ditunjukan oleh Desa Julubori di Kabupaten Gowa yang dapat menyelaraskan hubungan Tiga Pihak (Pemerintah Desa,BPD,Masyarakat) dalam mendukung keberhasilan program pembangunan desa. Fungsi utama BPD dalam system demokrasi desa adalah sebagai pilar penopang demokrasi desa, melalui pemberian legitimasi atas pembuatan dan pelaksanaan kebijakan Pemerintah Desa sebagai bagian dari kinerja Pemerintah Desa.

Diolah dari sumber: desabombana.com, 30 Juni 2014

Sudah singkronkah UU ASN dengan UU PEMDA, UU Desa, UU Pelayanan Publik dan UU Administrasi Pemerintahan?

Saat ini Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) tengah menyempurnakan beberapa rancangan-rancangan Peraturan Pemerintah di bidang Aparatur Sipil Negara, sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Salah satu upaya penyempurnaan rancangan-rancangan PP tersebut, dilakukan serial konsultasi publik untuk mendapat masukan dari berbagai kalangan. Masukan-masukan tersebut akan menjadi pertimbangan KemenPANRB dalam menyempurnakan rancangan-rancangan PP tersebut dan sebagai bentuk keterbukaan KemenPANRB bagi partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan.

Potensi disharmoni UU ASN dengan Undang-undang lain dapat dilihat pada irisan UU ASN dengan undang-undang lain yang terkait, yang memiliki potensi disharmoni horisontal. Beberapa undang-undang yang memiliki norma tumpang tindih dengan UU ASN adalah UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Salah satu isu yang menarik dari irisan tersebut misalnya tentang Jabatan Pejabat Tinggi (JPT). Dalam UU ASN pasal 4 disebutkan, seorang JPT tidak boleh diganti sebelum 2 tahun, kecuali ada kesalahan. Apa yang dilakukan kepala daerah jika Sekda yang ada tidak satu visi dengan kepada daerah?

Selain itu, masih ada beberapa irisan dan disharmoni antara UU-UU tersebut yang perlu disikapi dengan bijak. Selain dari sudut pandang para pakar, diperlukan juga pembahasan dari sudut pandang yang lain misalnya dengan melibatkan praktisi. Fungsi multi komponen terlibat dalam penajaman ini untuk dapat melihat pasal per pasal secara menyeluruh, misalnya pasal-pasal apa saja dalam UU ASN yang terkait pemerintah daerah, pemerintahan desa, administrasi pemerintahan dan layanan publik, apakah ada disharmoni antara UU ASN dengan UU tersebut?, bagaimana KemenPANRB selaku perancang RPP-RPP ASN mengatasi masalah disharmoni tersebut?, bagaimana mengefektifkan implementasi UU ASN di tingkat pemerintah daerah dan desa?.

Semua pertanyaan ketidakharmonisan tersebut diharapkan akan terjawab secara tuntas dalam Semiloka Konsultasi Publik yang akan diselenggarakan di Gedung University Center Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada hari Rabu-Kamis, tanggal 25-26 Februari 2015. Tujuan semiloka tersebut adalah untuk mengidentifikasi irisan dan potensi disharmoni dalam implementasi UU ASN terhadap implementasi UU lain, khususnya UU Pemda, UU Desa, UU Pelayanan Publik, dan UU Administrasi Pemerintahan dan juga untuk menggali masukan dan pengalaman dalam menyikapi beberapa irisan dan disharmoni antara UU ASN terhadap UU lain, khususnya UU Pemda, UU Desa, UU Pelayanan Publik, dan UU Administrasi Pemerintahan

Kegiatan tersebut direncanakan akan dihadiri oleh 80-100 orang peserta yang terdiri dari unsur Kementerian dan Lembaga terkait, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota se-DIY dan beberapa kabupaten sekitar, CSO, LAN, BKN, organisasi profesi, dan perguruan tinggi.

Yuddy Chrisnandi, Menteri PANRB akan menjadi keynote speaker dalam kegiatan semiloka tersebut, sedangkan beberapa nara sumber untuk memandu kegiatan tersebut yang berasal dari berbaga latar belakang juga sudah menyatakan kesediaannya untuk hadir, diantaranya Setiawan Wangsaatmaja (Deputi Bidang SDM Aparatur KemenPANRB, Sutoro Eko (IRE Jogya), Prof. Purwo Santoso (Kepala Jurusan Politik dan Pemerintahan, FISIPOL, UGM) dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng)

Gubernur Jawa tengah akan memaparkan pengalaman bagaimana konsep dan inovasi reformasi birokrasi di Pemerintahan Provinsi Jawa tengah. Apakah menurut Gubernur Jateng (yang juga mantan anggota Pansus RUU ASN) mengalami benturan-benturan norma antara UU ASN dengan UU Pemda?, apa tantangan dan hambatan implementasi UU ASN di Pemprov Jateng?, dalam konteks seleksi terbuka JPT Daerah, peran gubernur hanya menyerahkan 3 calon Sekda hasil seleksi Pansel kepada Presiden untuk dipilih Presiden. Bagaimana gubernur memastikan Sekda terpilih menjalankan arahan gubernur?, apa yang dilakukan Gubernur jika Sekda yang ada tidak satu visi dengan Gubernur? Dan bagaimana strategi Gubernur Jawa Tengah mengimplementasikan UU ASN agar harmonis dengan UU Pemda dan UU Desa?.

Diolah dari sumber: rtr.or.id, 13 Maret 2013

Tantangan & Peluang Pembangunan Pedesaan dengan Implementasi UU Desa

UU Desa No 6 tahun 2014 beserta sejumlah peraturan turunannya telah disahkan. Tujuan dari UU tersebut antara lain memajukan perekonomian masyarakat di pedesaan, mengatasi kesenjangan pembangunan kota dan desa, memperkuat peran penduduk desa dalam pembangunan serta meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa.

Untuk mencapai hal tersebut, beberapa hak dan wewenang diberikan kepada desa. Salah satunya adalah alokasi khusus APBN untuk pedesaan. Dana tersebut akan dibagikan kepada seluruh desa di Indonesia dengan nilai nominal dan proses sebagaimana yang ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) no. 60 tahun 2014. Pada RAPBN 2015 dana yang diusulkan Pemerintah sebesar Rp 9.1 triliun.

Undang Undang Desa diharapkan dapat menjadi salah satu solusi pemberantasan kemiskinan yang memang secara proporsi lebih besar berada di pedesaan, dan menekan kesenjangan pendapatan antara kota dan desa serta mengoreksi arah pembangunan selama ini yang bias urban.

Data dari BPS menunjukkan bahwa persentase penduduk pedesaan yang berada di bawah garis kemiskinan sebesar 15%, lebih tinggi dibanding rata-rata nasional (kota dan desa) yang sebesar 11,2% tahun 2013. Belum lagi mempertimbangkan jumlah penduduk yang hampir miskin (sedikit berada di atas garis kemiskinan). Olahan data CORE Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata prosentase penduduk perdesaan yang hampir miskin (2 kali di atas garis kemiskinan) di kawasan perdesaan pada tahun 2013 dapat mencapai 61%. Kelompok masyarakat inilah yang rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan jika ada sedikit saja guncangan ekonomi seperti kenaikan harga bahan makanan pokok, dll.

Di samping itu, tingkat kesenjangan pendapatan di pedesaan, juga cenderung melebar dalam satu dekade terakhir, tercermin dari koefisien gini ratio yang meningkat dari 0,29 (2002) menjadi 0,32 (2013) meskipun angka ini berada di bawah koefisien gini ratio perkotaan. Tingkat pendidikan penduduk desa juga lebih memprihatinkan dibanding perkotaan, tercermin dari persentase penduduk berpendidikan tertinggi SD atau lebih rendah hingga 70% (2013).

Lemahnya dukungan terhadap sektor pertanian ditambah dengan tekanan hidup desa yang tinggi mengakibatkan semakin tertekannya petani di pedesaan. Sebagian di antara mereka harus kehilangan lahan dan menjadi buruh tani, atau bermigrasi ke perkotaan, sehingga jumlah rumah tangga petani semakin lama semakin berkurang. Lemahnya daya saing sektor pertanian ini pulalah yang mengakibatkan perubahan struktur ekonomi di banyak daerah di Indonesia dimana telah terjadi pergeseran sektor utama di sejumlah propinsi dari pertanian menjadi non-pertanian.

Akan tetapi, di sisi lain, ada beberapa kekhawatiran mengenai dampak pengalokasian sejumlah besar dana tersebut ke pedesaan. Sejauh mana dana tersebut efektif berdampak pada perbaikan kinerja sektor pertanian yang pada gilirannya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, serta bagaimana meminimalkan penyimpangan-penyimpangan penggunaan dana tersebut akibat keterbatasan kapasitas, kualitas dan akuntabilitas sumber daya manusia khususnya di pedesaan.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan beberapa upaya untuk memuluskan implementasi, mengantisipasi potensi penyimpangan, dan untuk mencapai tujuan UU Desa, maka perlu dilakukan, pertama, perlunya perumusan definisi maupun kriteria yang tepat bagi desa yang akan mendapatkan alokasi dana. Hal ini dimaksudkan agar tujuan diberlakukannya UU Desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dan mengurangi kesenjangan dapat tercapai. Kedua, mensosialisasikan UU Desa kepada masyarakat perdesaan agar masyarakat desa dapat memahami maksud dari UU tersebut sehingga dapat memanfaatkan dana tersebut secara produktif. Ketiga, pentingnya memberikan pendampingan kepada aparat di desa dalam perumusan program, pembukuan, dan sistem pelaporan, misalnya dengan memanfaatkan PNPM. Sistem pelaporan juga harus dibuat sederhana untuk mempermudah pengelola dana di desa yang secara umum terbatas secara kapasitas dan infrastruktur. Keempat, pemerintah perlu pula memperkuat aspek pemantauan dalam pelaksanaan dan penggunaan dana tersebut oleh di tingkat desa, agar potensi penyelewengan dan penyimpangan dapat dihindari.

Meskipun persoalan yang terkait dengan UU Desa ini sangat kompleks, UU ini sangat penting sebagai upaya mengoreksi sistem pengelolaan ekonomi yang selama ini terlalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi kurang memperhatikan kualitas dari pertumbuhan itu sendiri, dan lebih condong/bias ke perkotaan.

Diolah dari sumber: coreindonesia.org, 19 September 2014