Official Website Desa Lemahabang

Sekretariat : Jl. Mbah Muqoyyim No. 3 Desa Lemahabang Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon 45183.

Official Website Desa Lemahabang

Sekretariat : Jl. Mbah Muqoyyim No. 3 Desa Lemahabang Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon 45183.

Official Website Desa Lemahabang

Sekretariat : Jl. Mbah Muqoyyim No. 3 Desa Lemahabang Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon 45183.

Official Website Desa Lemahabang

Sekretariat : Jl. Mbah Muqoyyim No. 3 Desa Lemahabang Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon 45183.

Official Website Desa Lemahabang

Sekretariat : Jl. Mbah Muqoyyim No. 3 Desa Lemahabang Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon 45183.

Sabtu, 30 Mei 2015

Strategi Pengembangan BUMDes Sebagai Pilar Ekonomi Desa

Badan Usaha Milik Desa selanjutnya disingkat dengan BUMDes diproyeksikan muncul sebagai kekuatan ekonomi baru di wilayah perdesaan. UU No 6 tahun 2014 tentang Desa memberikan payung hukum atas BUMDes sebagai pelaku ekonomi yang mengelola potensi desa secara kolektif untuk meningkatkan kesejahteraan warga desa.

Apa itu BUMDes? Istilah BUMDes muncul melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 72/2005 dan dirincikan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 39/2010. BUMDes merupakan wadah usaha desa yang memiliki semangat kemandirian, kebersamaan, dan kegotong-royongan antara pemerintah desa dan masyarakat untuk mengembangkan aset-aset lokal untuk memberikan pelayanan dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dan desa.

Sebelum lahirnya kebijakan di atas, inisiatif BUMDes sudah muncul di sejumlah daerah dengan nama yang berbeda-beda, tapi mereka memiliki prinsip dan tujuan yang sama. Ada yang menjalankan bisnis simpan-pinjam (keuangan mikro), ada juga yang menyelenggarakan pelayanan air minum untuk mengatasi kesulitan akses masyarakat terhadap air bersih.

Police Paper Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) yang ditulis oleh Yunanto dkk (2014:3-4) menjelaskan ada sejumlah kelemahan yang secara inheren ada pada BUMDes, yaitu:
  1. Penataan kelembagaan desa belum berjalan secara maksimal sehingga BUMDes pun belum dilembagakan dalam format kepemerintahan dan perekonomian desa.
  2. Keterbatasan kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mengelola dan mengembangkan BUMDes yang akuntabel dan berkinerja baik.
  3. Rendahnya inisiatif lokal untuk menggerakkan potensi ekonomi lokal bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi warga desa.
  4. Belum berkembangnya proses konsolidasi dan kerjasama antar pihak terkait untuk mewujudkan BUMDes sebagai patron ekonomi yang berperan memajukan ekonomi kerakyatan.
  5. Kurangnya responsivitas Pemda untuk menjadikan BUMDes sebagai program unggulan untuk memberdayakan desa dan kesejahteraan masyarakat.
Secara substansial, UU No 6 tahun 2014 mendorong desa sebagai subjek pembangunan secara emansipatoris untuk pemenuhan pelayanan dasar kepada warga, termasuk menggerakan aset-aset ekonomi lokal. Posisi BUMDes menjadi lembaga yang memunculkan sentra-sentra ekonomi di desa dengan semangat ekonomi kolektif.

Apa bedanya BUMDes dengan lembaga ekonomi masyarakat lainnya? Antara BUMDes dan ekonomi pribadi maupun kelompok masyarakat lainnya sebenarnya tidak ada yang perlu dipertentangkan. Semuanya saling melengkapi untuk menggairahkan ekonomi desa. Namun, BUMDes merupakan lembaga yang unik dan khas sepadan dengan keunikan desa.

Yunanto (2014:7) menjelaskan keunikan BUMDes sebagai berikut:
  1. BUMDes merupakan sebuah usaha desa milik kolektif yang digerakkan oleh aksi kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat. BUMDes merupakan bentuk public and community partnership atau kemitraan antara pemerintah desa sebagai sektor publik dengan masyarakat setempat.
  2. BUMDes lebih inklusif dibanding dengan koperasi, usaha pribadi maupun usaha kelompok masyarakat yang bekerja di ranah desa. Koperasi memang inklusif bagi anggotanya, baik di tingkat desa maupun tingkat yang lebih luas, namun koperasi tetap ekslusif karena hanya untuk anggota.
Lalu, apa saja ruang usaha yang bisa dilakukan oleh BUMDes? UU No 6 tahun 2014 pasal 87 ayat 3 menyebutkan BUMDes dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, BUMDes dapat menjalankan pelbagai usaha, mulai dari pelayanan jasa, keuangan mikro, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya. Sebagai contoh, BUMDes bisa membentuk unit usaha yang bergerak dalam keuangan mikro dengan mengacu secara hukum pada UU Lembaga Keuangan Mikro maupun UU Otoritas Jasa Keuangan.

Aksa (2013) menjelaskan ada empat jenis bisnis yang bisa dikembangkan oleh BUMDes, antara lain:
  1. BUMDes tang bertipe serving. BUMDes semacam ini menjalankan bisnis sosial yang melayani, yaitu melakukan pelayanan publik kepada masyarakat sekaligus juga memperoleh keuntungan finansial dari pelayanan itu. Usaha ini memanfaatkan sumber daya okal dan teknologi tepat guna, seperti usaha air minum desa dan usaha listrik desa.
  2. BUMDes yang bertipe banking. BUMDes ini menjalankan bisnis uang seperti bank desa atau lembaga perkreditan desa. Modalnya berasal dari ADD, PADes, tabungan masyarakat serta dukungan dari pemerintah. Bisnis uang desa ini mengandung bisnis sosial dan bisnis ekonomi. Bisnis sosial artinya bak desa merupakan proteksi sosial terhadap warga desa, terutama kelompok warga yang rentan dan perempuan dari jeratan para rentenir. Bisnis ekonomi artinya bank desa berfungsi untuk mendukung permodalan usaha-usaha skala mikro yang dijalankan oleh pelaku ekonomi di desa.
  3. BUMDes bertipe renting. BUMDes ini menjalankan bisnis penyewaan barang-barang (perangkat pesta, traktor, alat transportasi, ruko, dan lain sebagainya), baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun untuk memperoleh pendapatan desa.
  4. BUMDes bertipe brokering. BUMDes ini berperan sebagai lembaga perantara, seperti jasa pelayanan kepada warga maupun usaha-usaha masyarakat, misalnya jasa pembayaran listri, desa mendirikan pasar desa untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan masyarakat. BUMDes juga bisa membangun jaringan dengan pihak ketiga untuk memasarkan produk-produk lokal secara lebih luas.

Jumat, 29 Mei 2015

Menyoal Kesiapan Pemerintahan Desa

Lahirnya UU 6/2014 tentang Pemerintahan Desa, tampaknya masih membutuhkan kesiapan pelaksanaannya dalam berbagai aspek yang serius. Kesiapan itu baik di tingkat atas (pemerintah pusat) maupun level bawah (grass roots) di desa sendiri.

Salah satu tampak jelas terkait perubahan nomenklatur kementerian untuk mengurusi dana desa. Belum ada titik temu bahwa Kemendagri akan menyerahkan atau tidak Ditjen PMD ke Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi. Karena itu, diyakini bila penyerahan dilakukan, komitmen pembangunan desa akan segera terwujud.

Sementara UU Desa baru itu melahirkan karakteristik unik desa dalam struktur formal kelembagaan negara Republik Indonesia. Itu masih menyisakan keraguan akan terlaksana dengan baik. Setidaknya, ada tiga aspek yang problematik dialami desa. Ketiganya menyangkut kesiapan personel aparatur pemerintahan desa, penerapan, dan penggunaan anggaran maupun peningkatan fungsi pelayanan masyarakatnya seiring tingginya dana yang diperoleh.

Anggaran Rp1,4 miliar tiap desa per tahun yang diamanatkan UU Desa memang memunculkan kekhawatiran tersendiri akan efektivitas dan transparansi penggunaannya. Jumlah sebesar itu tidak tepat sasaran bahkan akan sia-sia tanpa kesiapan yang optimal dari tingkat pusat hingga desa. Lantas hal-hal apa saja yang menjadi problem dalam sistem pemerintahan desa yang baru ini? Apakah desa sudah siap dalam pelaksanaan UU Desa? Kesiapan apa yang diperlukan dalam tegaknya penerapan UU Desa ini?

Rentan Kesiapan
UU tersebut ditujukkan guna meningkatkan partisipasi dan gotong royong masyarakat dalam pembangunan desa. Tujuan itu menunjukkan bahwa kehendak bottom up dalam berjalannya fungsi pemerintahan. Dalam konsep demikian, masyarakat desa sudah saatnya menjadi pelaku utama dalam kegiatan pembangunan di desanya. Tentu peran serta itu harus diikuti dengan tingkat pemahaman yang memadai. Untuk itu, peran pemerintah masih sangat diperlukan dalam sosialisasi UU ini.

Selain itu, UU juga berfungsi mempercepat pembangunan desa dan kawasan perdesaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. Artinya, di bawah UU No 6 Tahun 2014 berarti memberikan harapan baru guna meningkatkan peran aparat pemerintah desa sebagai garda terdepan dalam pembangunan dan kemasyarakatan.

Saat pelaksanaan UU Desa yang kian mendesak berhadapan dengan perubahan struktur pemerintahan desa yang belum tertata, hal tersebut membuat kondisi menjadi rentan. Bila itu tidak segera diterapkan, akan melanggar UU. Namun, kalau hal tersebut dipaksakan dengan kesiapan yang minim, bisa menjadikan kondisi yang amburadul. Penerapan hanya berhenti pada tataran formalnya. Sementara secara substansi tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Memang dalam penerapan sebuah tata kerja yang baru tidak bisa langsung dilakukan dengan sempurna. Namun, kesiapan pemerintahan desa akan lebih meminimalkan persoalan yang terjadi sehingga tujuan utama penerapan UU Desa akan menjadi kenyataan.

Problem di Bawah
Pengawasan yang dilakukan terhadap desa selama ini masih ada sejumlah permasalahan yang menjadi temuan. Temuan ini menunjukkan bahwa banyak desa yang belum memiliki kesiapan memadai dalam penerapan UU Desa yang baru. Temuan itu terkait proses dan administrasi pemerintahan yang harus segera diakhiri agar desa bisa berfungsi dengan baik. Temuan yang masih terjadi, di antaranya surat pertanggung jawaban (SPJ) yang belum memenuhi syarat formal dan material. Kemampuan kepala desa berikut aparaturnya masih menjadi kendala.

Selain itu, sering pula pemeriksaan atasan langsung atas pengelolaan keuangan belum dilaksanakan sesuai ketentuan dan pengelolaan pembangunan dan administrasi pelaksanaan kegiatan belum tertib. Di samping kemampuan, kedisiplinan ternyata turut mendukung kekarutmarutan pemerintahan desa.

Lebih parah lagi, pada hal tersebut sering dialami ketekoran kas desa karena terjadinya penyimpangan pengelolaan keuangan desa. Bentuk lainnya berupa tunggakan sewa tanah kas desa serta belum lengkapnya buku administrasi keuangan ataupun barang desa. Keadaan itu rentan menjadi indikasi penyelewengan keuangan desa, seperti pemakaian keuangan desa tanpa laporan.

Di samping itu, kerap timbul penyelewengan dalam pengelolaan keuangan begitu pula dengan aset desa. Hal tersebut akibat inventarisasi serta sistem pembukuan administrasi yang buruk, di antaranya tidak tertib dalam pembukuan administrasi keuangan, baik buku kas umum (BKU) maupun buku bantu, bahkan ada pula desa yang tidak membuat BKU. Masih banyak hal yang menjadi kelemahan desa yang harus dibenahi dan dipersiapkan untuk menghadapi UU baru di desa.

Menyiapkan
Pelaksanaan sistem pemerintahan desa di bawah UU Desa yang baru menuntut kesiapan yang sangat baik. Berbagai hal harus diperhitungkan, direncanakan, dan diawasi pelaksanaannya terus menerus. Termasuk diperlukan pengarahan, penyuluhan, bahkan pendampingan agar benar-benar dilaksanakan sesuai aturan yang ada. Sejumlah upaya bisa dilakukan untuk meningkatkan kesiapan pelaksanaan pemerintahan desa.

Pertama, meningkatkan kematangan dalam melaksanakan peraturan yang terkait dengan pemerintahan desa. Pematangan itu dalam bentuk peningkatan terus menerus terhadap pemahaman terhadap materi UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tidak hanya UU saja, tetapi juga PP No 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Demikian juga PP No 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBD. Pematangan itu meliputi tingkat pemerintah pusat, daerah, hingga ke desa.

Kedua, penyiapan agar segenap pihak terkait bisa memiliki respons dengan cara yang benar terhadap sistem pemerintahan desa yang baru. Respons itu akan menentukan keberhasilan tujuan diterapkannya UU Desa ini. Yang termasuk dalam upaya itu ialah meningkatkan sikap mawas diri aparatur sebagai tindak cegah melakukan pelanggaran, penyalahgunaan, dan penyimpangan dalam pemerintahan desa.

Ketiga, menyiapkan tenaga yang memiliki minat dan motivasi serta disiplin cukup dalam melaksanakan pemerintahan desa. Langkah itu bisa ditempuh melalui perekrutan personil yang berkemampuan memadai. Bagi aparatur yang sudah ada, cara itu ditempuh melalui pendidikan dan pelatihan secara teratur dan berkelanjutan.

Keempat, penentuan tingkatan yang harus dicapai aparatur, baik desa maupun tingkatan di atasnya. Bagi aparatur desa dituntut memiliki kemampuan dalam penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa, penyusunan APB Desa, maupun penyusunan LPJ Desa. Demikian pula dalam menyusun administrasi pembukuan dan aset pemerintah desa.

Pengalaman menunjukkan bahwa ketidakmatangan dalam penerapan sistem otonomi daerah beberapa waktu lalu telah mengakibatkan fungsinya jauh panggang dari api. Hal itu tidak boleh terjadi terhadap desa kita. Kesiapan yang lebih baik akan jauh bermanfaat daripada penerapan yang tergesa-gesa dan dipaksakan. Namun, berkutat pada hal-hal yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat desa sehingga menjadi hambatan, juga bukan tindakan yang bijak.

Diolah dari sumber: metrotvnews.com, penulis: Suyatno (analis politik pemerintahan pada FISIP Universitas Terbuka), 9 Januari 2015

Memahami Sistem Informasi dalam Konteks UU Desa

Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) memberikan harapan baru pada pembangunan di tingkat Desa. UU Desa memberikan ruang bagi desa untuk menjadi aktor pembangunan dengan mengedepankan adanya prinsip subsidiaritas dan rekognisi atas keberadaan desa sebagai entitas kultural sekaligus pemerintahan. Melalui UU ini, secara filosofis, negara mengakui adanya desa sebagai salah satu entitas sosio-kultural yang secara historis ada sebelum negara Indonesia dideklarasikan. UU ini mengakui desa sebagai bagian dari yuridiksi dalam ketatanegaraan formal negara.

Pengakuan Atas Desa
Pengakuan atau rekognisi dan subsidiaritas menjadi salah satu jantung penting UU Desa. Rekognisi adalah prinsip penting yang terdapat pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 huruf b. Negara mengakui dan menghormati adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Indonesia sebagai sebuah negara yang diatur melalui Undang-Undang.

Pengakuan atau rekognisi merupakan pengakuan atas hak asal usul yang melekat, berkembang dan terejawantah dalam kehidupan masyarakat di tingkat desa. Subsidiaritas merupakan penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan bersakala lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Asas subsidiaritas merupakan kebalikan dari asas residualitas yang sebelumnya berlaku atas desa. Asas residualitas yang berlaku sebelumnya menempatkan desa sebagai pelaksana kewenangan dari tingkat di atasnya (supra desa). Desa sebelum UU Desa lebih memiliki kewajiban dibandingkan dengan kewenangan yang melekat sebagai entitas pemerintahan sekaligus entitas kultural.

UU Desa memperjelas posisi desa sebagai salah satu bagian integeral dari negara yang diatur secara spesifik mengingat keunikan unit sosio-kulturalnya. Otonomi Desa kini bukan lagi bagian dari otonomi daerah yang diserahkan ke desa, melainkan pemberian atas hak asal-usul yang melekat pada desa sebagai bagian dari hak bawaan. Kedudukan desa tidak lagi berada di bawah dan di dalam pemerintahan daerah; melainkan berkedudukan di Kabupaten atau kota (Pasal 5).

Pasal 4 UU Desa menjabarkan tujuan dari proses yang disebut sebagai pengaturan desa. Tujuan pokok dari “pengaturan desa” dalam UU Desa mencakup:
  • Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya, sebelum dan sesudah NKRI;
  • Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan RI;
  • Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
  • Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
  • Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
  • Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa;
  • Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa;
  • Memajukan perekonomian desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan;
  • Memperkuat desa sebagai subjek pembangunan.
Rekognisi atas keberadaan dan wewenang desa harus dilakukan oleh semua pihak. Konsep mengakui menghilangkan atau mengurangi intervensi atau campur tangan terhadap desa yang berpotensi menghilangkan tatanan, pranata dan tata kelola yang sudah berkembang di desa. Upaya-upaya seperti pelaksanaan proyek di tingkat desa dengan tidak melibatkan atau melalui persetujuan desa adalah salah satu bentuk pelanggaran atas asas rekognisi yang dibangun melalui UU Desa.

Prinsip Subsidiaritas memberikan ruang pada desa untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks di desa. Urusan lokal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat lokal baiknya dikelola oleh desa. Prinsip ini berbeda dengan prinsin penyerahan kewenangan pada konteks desentralisasi. UU Desa mengutur bahwa penetapan kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa itu sendiri. UU memberikan kewenangan, batasan dan lingkup secara jelas atas kewenangan lokal berskala desa.

Nilai Data dan Informasi untuk Pembangunan Desa
UU Desa memperkenalkan dua model pembangunan di tingkat desa, yaitu (1) Desa Membangun, dan; (2) Pembangunan Kawasan Perdesaan. Konsep Desa membangun menunjukkan jenis-jenis pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk memperkuat masyarakat di lokal desa. Bentuk kedua menunjukkan persilangan pembangunan satu desa dengan desa lain (kawasan) yang saling beririsan. Model kedua dilakukan oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten dengan pelibatan dan persetujuan pemerintah dan masyarakat desa. UU Desa mewajibkan pembangunan kawasan yang berskala desa dilakukan oleh desa dan atau antar desa (pasal 85). Proses membangun desa (kawasan) dan “desa membangun” keduanya harus terintegerasi dengan baik.

Informasi dan data desa menjadi dua kata kunci dalam kedua model pembangunan di tingkat desa tersebut. Desa membutuhkan data-data penting di tingkat lokal untuk menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan di tingkat desa. Desa harus memiliki kedaulatan data untuk dapat membuat perencanaan pembangunan yang baik dan sesuai dengan konteks dan kebutuhan di tingkat lokal. Sementara, pemerintah Daerah (provinsi dan Kabupaten) memiliki kebutuhan adanya data yang terkait dengan dengan kawasan untuk dapat melakukan pembangunan desa dalam skala yang beririsan dengan desa lainnya.

Informasi menjadi kunci lain dalam pengawasan pembangunan di tingkat desa. Masyarakat harus mendapatkan informasi yang memadai dan benar terkait dengan pembangunan di tingkat desa. Hal ini sejalan dengan prinsip perubahan di tingkat pemerintahan desa yang menjadi amanat UU desa, yaitu mewujudkan pemerintahan desa yang efisien, efektif, profesional, terbuka dan bertanggungjawab. Kedua kata kunci tersebut (data dan informasi) difasilitasi oleh satu pendekatan alat yang disebut sebagai sistem informasi desa (Pasal 86).

Sistem Informasi Desa
Mengacu pada Pasal 86 UU Desa, Sistem Informasi Desa dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pendekatan dalam skala yang lebih kecil ini –dibandingkan dengan nasional– bertujuan untuk memperkecil hilangnya kewenangan lokal berskala desa akibat penyeragaman di tingkat nasional. Tujuan dari pengaturan skala kewajiban penyediaan Sistem Informasi Desa dalam lingkup Kabupaten juga bertujuan untuk menjaga prinsip rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi prinsip UU Desa.

Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) berkewajiban untuk mengembangkan Sistem Informasi Desa dan Pembangunan Kawasan (pasal 86 ayat 3). Kewajiban ini melekat pada Kabupaten/Kota, bukan pada pemerintah di tingkat nasional (pusat). Sistem informasi desa juga mengandung maksud bukan sebatas aplikasi, melainkan perangkat keras, perangkat lunak (aplikasi), jaringan dan sumber daya manusia. Sistem informasi desa mengandaikan adanya bisnis proses yang jelas, tanpa mengenyampingkan jenis-jenis data dan informasi yang bersifat atau mengandung kewenangan lokal berskala desa. Penegasan pentingnya sumber daya manusia sebagai bagian dari Sistem Informasi Desa menunjukkan kewajiban pada pihak Kabupaten/Kota untuk memberikan pendampingan dan penguatan atas tata kelola informasi dan data pembangunan di tingkat desa.

Sistem informasi desa mengandung data desa, data pembangunan desa, kawasan desa dan informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan desa. Informasi berkaitan dengan pembangunan kawasan perdesaan juga wajib disediakan oleh pemerintah di tingkat Kabupaten/Kota. Informasi-informasi ini dibuka menjadi data atau informasi publik yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Belajar dari pembelajaran penerapan Profil Desa yang berskala nasional, penerapan sistem informasi desa yang dikontrol dan diseragamkan oleh pemerintah pusat tidak lagi relevan. Penerapan secara nasional dengan menerapkan standar baku yang mengabaikan kewenangan lokal berskala desa melanggar prinsip penerapan sistem informasi yang diatur oleh UU Desa.

Akses data menjadi salah satu tantangan lain. Pengalaman profil desa menunjukkan bahwa desa hanya sebagai “pengumpul data” atau petugas dari pemerintah pusat. Implikasinya, desa tidak memiliki data yang memadai karena sudah “disetorkan” kepada pemerintah pusat. Hal ini berimplikasi kepada perencanaan pembangunan di tingkat desa. Penerapan profil desa juga tidak mempertimbangkan keragaman kebutuhan akan jenis data sesuai dengan konteks lokal. Hal ini justeru menghambat desa dalam menemukenali jenis-jenis kebutuhan data yang kontekstual dengan kebutuhan pembangunan desa dan kewenangan lokal berskala desa.

Penerapan Sistem Informasi Desa, mengacu pada semangat UU Desa, harus dikembalikan ke tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini sejalan dengan penetapan kewenangan lokal berskala desa yang turut diatur dalam Peraturan Daerah. Sistem informasi desa perlu mengakomodir keragaman di tingkat desa. Keragaman, dalam konteks terdekat, dapat diakomodir oleh pemerintah di tingkat Kab/Kota.

Pada konteks teknologi, pemerintah nasional lebih penting menetapkan standar platform teknologi agar satu jenis aplikasi (teknologi) dapat berkomunikasi dengan teknologi lainnya. Perkembangan dunia teknologi informasi sudah memungkinkan adanya komunikasi data melalui Application Programming Interface (API). Standardisasi data –apabila dilakukan– tidak boleh menghilangkan peluang desa untuk tetap dapat memasukkan data-data yang terkait dengan kewenangan lokal berskala desa.

Di lain sisi, penerapan teknologi perlu mengedepankan pertimbangan ketersediaan akses masyarakat atas teknologi. Teknologi yang terlalu dipaksakan pada konteks wilayah tertentu, justeru akan menjadi hambatan tersendiri bagi pemerintah desa dan masyarakat dalam pemanfaatan data tersebut. Ketersediaan data yang tidak dibarengi dengan akses masyarakat atas data pembangunan juga menghambat partisipasi masyarakat. Penerapan Sistem Informasi harus mempertimbangkan bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan informasi yang termuat dalam sistem informasi. Akses atas informasi menjadi prasyarat dasar untuk memastikannya.

Prinsip Penerapan Sistem Informasi Desa
Penerapan sistem informasi desa idealnya dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip penting, antara lain:
  • sistem Informasi desa adalah kewenangan dan kewajiban pemerintah daerah di tingkat Kabupaten/Kota;
  • Data yang dikelola melalui sistem informasi desa perlu ditetapkan sebagai data terbuka (open data);
  • Sistem Informasi Desa bukan semata teknologi, melainkan sumber daya manusia.
  • Penerapan Sistem informasi desa tidak boleh menghilangkan peluang, kesempatan dan upaya desa untuk membangun data yang relevan dengan kewenangan lokal berskala desa;
  • Penerapan Sistem Informasi Desa harus mengakomodir kebutuhan desa untuk tetap memiliki, mengembangkan dan menggunakan data sebagai bagian tidak terpisahkan dari perencanaan di tingkat desa;
  • Standardisasi Data dalam informasi desa tidak boleh menghilangkan kesempatan pemeratah desa untuk mengembangkan data yang relevan terkait dengan kewenangan lokal berskala desa;
Penerapan teknologi tidak boleh ditunggalkan dengan mempertimbangkan akses masyarakat atas informasi pembangunan yang berbeda-beda di setiap lokasi.

Diolah dari sumber: sekolahdesa.or.id, 29 April 2015

Alokasi Budget dan Amanat UU Desa

Seiring dengan akan ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015, UU Desa akan segera memasuki fase penentuan dalam implementasinya. Permasalahannya, bukan hanya bagaimana memenuhi ekspektasi berbagai pihak terhadap besaran Dana Desa, tetapi juga bagaimana merumuskan suatu formula alokasi yang ideal.

Alokasi tersebut di satu sisi, tentunya diharapkan bisa memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Namun, di sisi lain tidak menimbulkan beban keuangan negara yang terlalu berat. Faktor kesiapan aparat Desa untuk mengimplementasikan UU Desa dan peraturan pelaksanaannya juga memegang peranan sangat penting.

Selain itu, efektivitas monitoring dan evaluasi terhadap Dana Desa mutlak diperlukan untuk memastikan penggunaan Dana Desa benar-benar mampu memajukan perekonomian masyarakat. Mencermati RAPBN 2015, pos Transfer ke Daerah dan Dana Desa dianggarkan sebesar Rp 640 triliun. Angka tersebut terdiri dari Transfer ke Daerah sebesar Rp 630,9 triliun, dan Dana Desa sebesar Rp 9,1 triliun.

Bila mengacu pada UU Desa yang menentukan besaran alokasi Dana Desa sebesar 10 persen dari—dan di luar—Dana Transfer ke Daerah, tentu kisaran dana Rp 9 triliun masih jauh dari yang diharapkan. Namun, agar tak menimbulkan kesalahan persepsi, ada beberapa hal yang perlu dipahami terkait sejumlah faktor yang menyebabkan Dana Desa tidak bisa langsung dialokasikan sebesar yang ditentukan UU.

Pertama, Ketentuan besaran alokasi Dana Desa sebesar 10 persen dari Dana Transfer ke Daerah dilakukan secara bertahap. Jadi, tidak harus langsung sebesar 10 persen pada saat UU Desa diimplementasikan di tahun pertama.

Kedua, ketentuan tentang besaran alokasi Dana Desa sebesar 10 persen dari Dana Transfer ke Daerah tersebut hanya terdapat pada bagian penjelasan, bukan pada batang tubuh. Padahal, sesuai dengan Lampiran I UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebuah penjelasan tidak dapat berisi rumusan norma baru ataupun memperluas, mempersempit, dan menambah norma yang terkandung dalam pasal di batang tubuh peraturan perundang-undangan.

Ketiga, anggaran Pendapatan 2015 lebih kecil daripada anggaran Belanja, sehingga terdapat defisit APBN sebesar Rp 257,6 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 2,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menggariskan, defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dari PDB sebagai bentuk kehati-hatian. Apabila Dana Desa dialokasikan sebesar 10 persen dari Dana Transfer, yang berarti lebih dari Rp 60 triliun, maka tentu akan menambah defisit dan semakin memperberat beban APBN kita.

Keempat, Sesuai dengan Pasal 72 ayat (2) UU Desa, alokasi anggaran Dana Desa bersumber dari belanja Pemerintah dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa. Ketentuan ini dibuat dengan pertimbangan bahwa selama ini sebenarnya sudah ada anggaran dari APBN yang disalurkan ke Desa, melalui berbagai program dan kegiatan Kementerian dan Lembaga (K/L).

Apabila seluruh Dana Desa berasal dari fresh money atau on top, tentu akan sangat memberatkan APBN. Kementerian Keuangan telah melakukan identifikasi anggaran K/L yang berbasis Desa, yang nantinya akan direalokasi menjadi Dana Desa.

Angka yang diperoleh adalah sebesar Rp 9.066.190.682.000. Angka inilah yang menjadi dasar penyusunan alokasi Dana Desa dalam RAPBN sebesar Rp 9.066.200.000.000. Perlu diketahui bahwa mengalihkan anggaran Kementerian/Lembagai menjadi Dana Desa tidaklah semudah membalik telapak tangan. Semua Kementerian dan Lembaga mempunyai prioritas nasional yang membutuhkan anggaran untuk mencapainya.

Diperlukan pembahasan secara komprehensif antara Kementerian Keuangan dan semua Kementerian/Lembaga yang mempunyai anggaran, yang memungkinkan untuk direalokasi menjadi Dana Desa. Dalam lingkup yang lebih besar, keseimbangan APBN juga harus dijaga agar defisit anggaran tetap dalam batas yang realistis.

Diolah dari sumber: katadata.co.id, penulis: Dhani Kurniawan, 14 September 2014

Kamis, 28 Mei 2015

4 Faktor yang Mempengaruhi Administrasi Pemerintahan Desa

Pemerintahan Desa sangat rentan dengan perubahan. Perubahan yang terjadi dapat menimbulkan kesinambungan yang baik dan sebaliknya. Menghadapi beberapa faktor yang dapat merubah pemerintahan desa diharapkan pemerintah desa dapat tetap stabil untuk menjaga situasi dan kondisi masyarakat yang tetap teratur. Beberapa faktor tersebut bisa berasal dari empat faktor berikut ini.

Faktor Politik
Pada faktor politik dilihat dari kesadaran bernegara masyarakatnya cukup baik misalnya pada kesadaran masyarakat untuk berhubungan dengan kantor Kades dapat dikatakan lancar terbukti surat-surat yang diperlukan oleh anggota masyarakat cepat urusannya misalnya KTP, Surat keterangan dan lain-lain.

Dan dengan adanya partisipasi politik yang sudah berkembang pada masyarakat desa membantu kepala-kepala lingkungan yang ada berperan sebagaimana yang diharapkan, sehingga mempermudah dan mempercepat tugas-tugas di pedesaan atau di kelurahan

Faktor Ekonomi
Dari data yang ada memperlihatkan faktor ekonomi sangat mempengaruhi akan kelancaran roda organisasi pemerintahan Desa. Dapat dilihat dari jumlah surat-surat jalan, KTP, Surat Keterangan lainnya. Dapat dilihat juga dari kewajiban bayar pajak dan retribusi misalnya PBB, disamping itu sumbangan masyarakat pada hari-hari besar (Negara maupun Agama).

Faktor Sosial Budaya
Masyarakat adalah kumpulan dari individu-lndividu atau sekelompok manusia. Atau dengan pengertian lain dapat dikatakan bahwa masyarakat adalah satu kesatuan yang didasarkan pada ikatan-ikatan yang sudah teratur dan boleh dikatakan stabil. Dalam bidang ini yang perlu diperhatikan adalah kelompok-kelompok atau golongan yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Setiap masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama, dimana akan terbentuklah berbagai macam organisasi sosial. Setiap masyarakat mengenal organisasi sosial, struktur kelas dan sebagainya, sekalipun sifatnya dan cirinya berbeda-beda, faktor ini berhubungan erat dengan struktur sosial yang mempunyai nilai sosial yang mengatur kehidupan masyarakat sekelilingnya karena manusia selain sebagai mahluk berpikir, juga mempunyai daya kreasi, sehingga dapat menarik pelajaran dari pengalamannya dan mencetuskan ide-ide yang baru sebagai hasil dari proses sosial. Proses sosial merupakan suatu proses yang berarti bahwa merupakan suatu gejala perubahan. Perubahan sosial tidak terjadi secara mendadak, melainkan berubah karena hasil pendidikan dan kebudaaan. Oleh sebab itu faktor yang penting dalam pertumbuhan suatu masyarakat adalah faktor waktu, karena waktu memberikan kesempatan pada individu untuk bekerja sama.

Faktor Hankam
Perkembangan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, apabila tidak didukung oleh situasi dan kondisi yang mantap dan stabil. Oleh sebab itu diperlukan adanya keamanan yang mantap dan mandiri. Aman, tenteram, tertib dan sentosa adalah idaman setiap insan (manusia) di dalam suatu masyarakat. Dengan adanya faktor keamanan yang terjamin, maka memungkinkan masyarakatnya mencari nafkah lebih luas dan leluasa (sesuai dengan kaedah dan norma yang berlaku sehingga pandapatannya dapat lebih meningkat lagi.

Faktor politik, ekonomi, dan sosial budaya sudah jelas mempengaruhi akan faktor Hankam ini. Ketentraman, tertib, harmonis, tolong-menolong, setia kawan dan efektifnya lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada menyebabkan situasi dan kondisi masyarakat menjadi mantap dan stabil.

Diolah dari sumber: celotehlestarius.blogspot.com, penulis: Lase Saja, 17 Maret 2015

Program-program Pembangunan Desa

Program Desa diawali dari musyawarah Dusun yang dilanjutkan ke musyawarah Desa yang dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat, tokoh Agama, RT / RW, Pemerintah Desa beserta BPD dalam rangka penggalian gagasan. Dari penggalian gagasan tersebut dapat diketahui permasalahan yang ada di Desa dan kebutuhan apa yang diperlukan oleh masyarakat sehingga aspirasi seluruh lapisan masyarakat bisa tertampung.

Sebagai wakil dari masyarakat Lembaga Desa berperan aktif membantu pemerintah Desa dalam menggerakkan program Pembangunan. Pemerintah Desa beserta Lembaga Desa merumuskan program Pembangunan Desa, dalam hal ini menyusun Pembangunan apa yang sifatnya mendesak dan harus dilakukan dengan segera dalam arti menyusun skala prioritas.

Kegiatan pembangunan desa yang akan dilaksanakan selama kurun waktu 5 (lima) tahun kedepan dan merupakan penjabaran dari program-program pembangunan desa guna mencapai Visi. Kegiatan Desa Pagersari periode 2009-2013 adalah sebagai berikut:
  1. Program peningkatan kemampuan dan profesionalisme aparat pemerintah desa yaitu Kepala Desa dan Perangkat Desa, serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dilaksanakan dengan kegiatan :
    1. Peningkatan disiplin aparat pemerintah desa;
    2. Pembinaan aparat pemerintah desa;
    3. Rapat koordinasi aparat Pemerintah Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa dengan SKPD Kabupaten, Camat, atau UPT Dinas Kecamatan;
    4. Pelatihan atau bimbingan teknis tentang pengelolaan kekayaan desa, penyusunan perencanaan pembangunan desa, pembentukan Badan Usaha Milik Desa, kearsipan, administrasi dan keuangan desa, serta komputer, atau sesuai kebutuhan;
  2. Program tata kelola pemerintahan yang baik, serta mewujudkan kerjasama yang baik antara pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sesuai tugas pokok dan fungsinya masing-masing, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Pengisian kekosongan perangkat desa;
    2. Reorganisasi Badan Permusyawaratan Desa periode 2013-2019;
    3. Pemilihan Kepala Desa masa jabatan 2013-2019;
    4. Penyusunan dan penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Desa pada setiap akhir tahun;
    5. Penyusunan Peraturan Desa tentang Kewenangan Desa.
  3. Program peningkatan tertib administrasi penyelenggaraan pemerintahan desa, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Pengisian buku-buku administrasi desa secara rutin dan benar;
    2. Pengisian buku-buku keuangan desa dan pembuatan SPJ secara baik dan tepat waktu;
    3. Pengelolaan ketata usahan secara benar dan prosedural;
    4. Pengelolaan kearsipan secara baik dan benar;
    5. Pengisian buku profil desa dan pembuatan papan (data dinding) profil desa;
    6. Penambahan pengadaan komputer/laptop.
  4. Program peningkatan kualitas pelayanan umum kepada masyarakat, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Memberikan pelayanan administrasi secara secara cepat, tepat dan transparan;
    2. Memberikan layanan komunikasi dan informasi kepada masyarakat;
    3. Pengadaan papan informasi;
    4. Penyelesaian renovasi balai desa;
    5. Pembangunan Kantor BPD, PKK dan LPMD;
    6. Pemeliharaan gedung kantor desa (kebersihan, pengecatan dan rehab kecil).
  5. Program peningkatan ketertiban dan keamanan desa, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Ronda malam dimasing-masing lingkungan RT;
    2. Pemeliharaan lampu penerangan jalan;
    3. Penambahan dan pemeliharaan Poskamling;
    4. Pemantauan penduduk pendatang oleh petugas Linmas setiap hari secara bergilir;
    5. Pengadaan pakaian seragam Satgas Linmas.
  6. Program peningkatan fasilitas dan pemberdayaan potensi ekonomi kerakyatan melalui sektor pertanian, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Pembangunan jalan usaha tani
    2. Pembangunan Jalan Dusun
    3. Pembangunan Jalan Desa
    4. Pelatihan budidaya pertanian, ternak dan perkebunan.
  7. Program pengembangan lembaga ekonomi desa yang mandiri dan tangguh untuk memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Inventarisasi lembaga ekonomi desa;
    2. Pembinaan dan pengembangan lembaga ekonomi desa;
    3. Pembentukkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
    4. Penguatan modal Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
  8. Program pembangunan dan pemeliharaan fasilitas jalan, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Pembangunan talud jalan;
    2. Pengaspalan/pengerasan jalan baru;
    3. Pavingisasi/betonisasi jalan gang masing-masing dusun
    4. Pelapisan jalan utama (Kabupaten);
    5. Pemeliharaan jalan aspal dalam masing-masing dusun dan antar dusun;
    6. Pengerasan bahu jalan aspal.
  9. Program pembangunan dan pemeliharaan fasilitas pendidikan, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Pemeliharaan gedung dan fasilitas lain Taman Kanak Kanak;
    2. Bantuan keuangan untuk kemajuan pendidikan TK;
    3. Pembangunan gedung Majlis Pendidikan Al Qur’an (MPQ);
    4. Bantuan keuangan untuk kemajuan Majlis Pendidikan Al Qur’an.
  10. Program peningkatan upaya kesehatan masyarakat, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Pembinaan dan pengembangan posyandu balita;
    2. Pembinaan dan pengembangan posyandu lansia;
    3. Pembinaan Keluarga Balita, Remaja dan Lansia.
    4. Gerakan Jum’at bersih;
    5. Pembangunan instalasi/perpipaan air bersih.dan MCK setiap rumah tangga;
    6. Penanganan dan pengelolaan sampah.
  11. Program peningkatan minat baca masyarakat, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Pengembangan perpustakaan desa;
    2. Pengadaan buku-buku perpustakaan desa.
  12. Program pelestarian budaya dan adat istiadat desa, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Pembinaan dan pengembangan kelompok kesenian tradisional;
    2. Pembangunan dan pemeliharaan Gedung Kesenian;
    3. Pentas seni tradisional;
    4. Peringatan Hari Besar Nasional, Hari Besar Keagamaan, serta budaya dan adat istiadat desa;
    5. Bantuan pengadaan peralatan kesenian.
  13. Program peningkatan sarana olahraga dan kepemudaan, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Pemberian bantuan pengadaan sarana olah raga;
    2. Penyelesaian renovasi lapangan sepak bola;
    3. Pembangunan pagar keliling lapangan sepak bola.
  14. Program penyelamatan lingkungan hidup, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Penanaman dan pemeliharaan turus jalan;
    2. Penanaman tanaman keras.
  15. Program peningkatan kualitas iman dan ketaqwaan umat beragama serta fasilitas keagamaan, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Pengajian secara rutin;
    2. Pembinaan dan pengembangan kelompok yasinan;
    3. Perbaikan dan pemeliharaan tempat ibadah;
  16. Program peningkatan kemampuan dan profesionalisme anggota dan pengurus lembaga kemasyarakatan desa, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Pembinaan anggota dan penggurus LPMD, PKK, RW dan RT;
    2. Mengikutsertakan anggota dan pengurus lembaga kemasyarakatan desa dalam setiap pelatihan atau bimbingan teknis.
  17. Program peningkatan pemberdayaan lembaga kemasyarakatan desa, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Penetapan lembaga kemasyarakatan desa dengan Peraturan Desa;
    2. Pemberian bantuan keuangan kepada lembaga kemasyarakatan desa;
  18. Program penyusunan perencanaan pembangunan desa yang terarah, terpadu, aspiratif, dan tanggap terhadap perubahan, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Penyusunan RPJM-Des tahun 2009-2013;
    2. Penyusunan RKP-Des tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013;
    3. Melaksanakan P3MD (Perencanaan Pembangunan Partisipatif Masyarakat Desa);
    4. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
  19. Program pelaksanaan pembangunan secara terbuka, berkelanjutan, dan dapat dipertanggungjawabkan, dengan mengutamakan skala prioritas desa dan tingkat manfaat untuk masyarakat desa, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Menyusun skala prioritas pembangunan desa;
    2. Memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat tentang pelaksanaan pembangunan;
    3. Memasang papan informasi secara jelas di lokasi pembangunan fisik.
  20. Program peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan desa melalui swadaya serta gotong royong, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Kerja bakti masyarakat secara rutin;
    2. Penggalian dana dari masyarakat untuk pembangunan desa melalui jimpitan;
  21. Program pemberian bantuan dan perlindungan sosial untuk pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Pemugaran rumah tidak layak huni;
    2. Pembuatan jamban keluarga;
    3. Peningkatan akses kesehatan melalui jamkesmas;
    4. Ambulan desa.
  22. Program pemberdayaan dan pengembangan kapasitas kelompok masyarakat miskin, dilaksanakan dengan kegiatan:
    1. Pemberian bantuan permodalan;
    2. Penyelenggaraan kursus-kursus ketrampilan;
    3. Pemberdayaan kelompok masyarakat miskin dalam padat karya;
    4. Pembinaan masyarakat miskin untuk mengembangkan potensi yang ada;

Diolah dari sumber: pagersaritlogomulyo.blogspot.com, 10 Februari 2012

Peraturan Pelaksanaan UU Desa menurut PP 43 Tahun 2014

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang ditunggu-tunggu, akhirnya setelah setengah tahun sejak awal tahun 2014 UU Desa disahkan, untuk dapat segera dilaksanakan pada tahun depan tepatnya tahun 2015. Berbagai hal diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini. Sosialisasi yang jelas serta bagaimana desa akan lebih mudah mengimplementasikan UU Desa adalah tugas setiap warga desa, serta menjaga agar sejumlah dana yang memang hanya segitu perdesa dapat digunakan semaksimal mungkin demi sebesar-besarnya kemakmuran warga masyarakat Desa. File PP No 43 tahun 2014 bisa diunduh di sini.

PP tentang UU Desa akhirnya diterbitkan Pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 Mei 2014 telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Keluarnya Peraturan Pelaksanaan UU tentang Desa ini berdasarkan pertimbangan untuk melaksanakan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berisi 91 halaman termasuk penjelasan. Peraturan Pelaksanaan UU Desa ini didalamnya mengatur tentang Penataan Desa, Kewenangan, Pemerintahan Desa, Tata Cara Penyusunan Peraturan Desa, Keuangan dan Kekayaan Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerjasama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat desa, dan Pembinaan dan Pengawasan Desa oleh Camat atau sebutan yang lainnya.

Kewenangan Desa
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa kewenangan Desa meliputi:
  • Kewenangan berdasarkan hak asal usul;
  • Kewenangan lokal berskala Desa;
  • Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan
  • Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Kewenangan Desa tersebut dalam PP Desa sedikitnya terdiri atas:
  • Sistem organisasi masyarakat adat;
  • Pembinaan kelembagaan masyarakat;
  • Pembinaan lembaga hukum adat;
  • Pengelolaan tanah kas desa; dan
  • Pengembangan peran masyarakat desa.
Kewenangan Lokal Berskala Desa
Kewenangan lokal berskala desa paling sedikit di antaranya meliputi:
  • Pengelolaan tambatan perahu;
  • Pengelolaan Pasar Desa;
  • Pengelolaan tempat pemandian umum;
  • Pengelolaan jaringan irigrasi;
  • Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat desa;
  • Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu;
  • Pengelolaan Embung Desa;
  • Pengelolaan air minum berskala desa; dan
  • Pembuatan jalan desa antarpermukiman ke wilayah pertanian.
Selain kewenangan sebagaimana hal diatas. Menteri dapat menetapkan jenis kewenangan Desa sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan lokal. (menurut Pasal 34 ayat 3 PP Desa).

Pemerintahan Desa
“Penjabat kepala desa berasal dari Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintahan daerah kabupaten/kota,”

Tentang pemilihan kepala desa, disebutkan pada Pasal 40 PP 43/2014 bahwa, pemilihan kepala desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah kabupaten/kota, dan dapat dilaksanakan bergelombang paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) tahun.

Jika terjadi kekosongan jabatan kepala desa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa yang serentak, maka bupati/walikota menunjuk penjabat kepala desa. Hal ini disebutkan pada Pasal 40 ayat (4) :

Jabatan Kepala Desa
Lama jabatan Kepala Desa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 ini, Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, dan dapat menjabat paling lama 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

“Dalam hal Kepala Desa mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya atau diberhentikan, Kepala Desa dianggap telah menjabat 1 (satu) periode masa jabatan,” Pasal 47 Ayat (5).

Perangkat Desa
Perangkat Desa yang berkedudukan sebagai unsur pembantu Kepala Desa terdiri dari:
  • Sekretariat Desa yang dipimpin oleh Sekretaris Desa;
  • Pelaksana Kewilayahan yang jumlahnya ditentukan secara proporsional; dan
  • Pelaksana Teknis, paling banyak 3 (tiga) seksi.
Syarat Menjadi Perangkat Desa
PP 43/2014 menegaskan, perangkat desa diangkat dari warga desa yang memenuhi persyaratan:
  • Berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat;
  • Berusia 20 tahun – 42 tahun;
  • Terdaftar sebagai penduduk desa dan paling tidak telah bertempat tinggal selama 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan
  • Syarat lain yang ditentukan dalam peraturan daerah kabupaten/kota.
  • Penghasilan Tetap dan Tunjangan Kepala Desa
Penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa yang bersumber dari Alokasi Dana Desa (ADD), yang merupakan pendapatan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Pengalokasian ADD untuk Kepala Desa dan perangkat desa menggunakan perhitungan sebagai berikut: a. ADD yang berjumlah kurang dari Rp 500.000.000 digunakan maksimal 60%; b. ADD RP 500 juta – Rp 700 juta digunakan maksimal 50%; c. ADD Rp 700 juta – Rp 900 juta digunakan maksimal Rp 40%; dan d. ADD di atas Rp 900 juta digunakan maksimal 30%.

“Bupati/Walikota menetapkan besaran penghasilan tetap a. Kepala Desa; b. Sekretaris Desa paling sedikir 70% dari penghasilan Kepala Desa setiap bulan; c. Perangkat Desa paling sedikit 50% dari penghasilan tetap Kepala Desa setiap bulan,” bunyi Pasal 81 Ayat (4a,b,c), Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014.

PP 43/2014 menyebutkan juga tentang tunjangan Kepala Desa, bahwa, selain menerima penghasilan tetap, Kepala Desa dan Perangkat Desa menerima tunjangan dan penerimaan lain yang sah, yang dapat bersumber dari APB Desa.

Penyelenggaraan Kewenangan Desa
“Seluruh pendapatan desa diterima dan disalurkan melalui rekening kas desa dan penggunaannya ditetapkan dalam APB desa,” Pasal 91 PP 43 Tahun 2014

Penyelenggaraan kewenangan Desa berdasarkan pada hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa yang didanai oleh APB Desa, dan juga dapat didanai oleh APBN dan APBD dari Provinsi maupun Kabupaten/Kota melalui ADD misalnya.

Anggaran untuk menyelenggarakan kewenangan Desa yang didapat atau ditugaskan oleh Pemerintah Pusat akan didanai dengan APBN melalui alokasi dari bagian anggaran Kementrian/Lembaga dan disalurkan melalui SKPD – Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten atau Kota. Selain itu penyelenggaraan kewenangan desa yang didapatkan melalui Pemerintah Daerah akan didanai dengan APBD dari Propinsi, dan Kabupaten atau Kota.

Dana Desa
Dana Pemerintah Pusat dan Daerah untuk Desa
Pemerintah mengalokasikan Dana Desa dalam anggaran pendapatan dan belanja negara setiap tahun anggaran yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota. Pasal 95 ayat 1 PP 43/2014.

Ditegaskan dalam PP 43 tahun 2014 bahwa pemerintah akan mengalokasikan dana desa dalam APBN setiap tahun anggaran yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota. Selain itu, pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan dalam APBD kabupaten/kota ADD setiap tahun anggaran, paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK).

Pemerintah Daerah dalam PP No. 43 tahun 2014 seperti pemerintah kabupaten/kota akan mengalokasikan bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota kepada desa paling sedikit 10 persen dari realisasi penerimaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota. Adapun rumus perhitungannya adalah 60 persen dari bagian 10 persen itu dibagi secara merata kepada seluruh desa, dan 40 persen sisanya dibagi secara proporsional sesuai realisasi penerimaan hasil pajak dan retribusi dari desa masing-masing.

Diolah dari sumber: suryaden.com, penulis: Suryaden, 13 Juni 2014

Rabu, 27 Mei 2015

Memetakan Masalah Keuangan Desa

Gunawan Kusumo, 25 Mei 2015 | Selama ini keuangan Desa ditopang dengan dua sumber utama, yakni pendapatan asli Desa (pungutan, hasil kekayaan Desa, gotong-royong dan swadaya masyarakat) serta bantuan dari pemerintah. Namun, secara empirik, ada beberapa masalah yang berkaitan dengan keuangan Desa.

Pertama, besaran anggaran Desa sangat terbatas. PADes sangat minim, antara lain karena Desa tidak mempunyai kewenangan dan kapasitas untuk menggali potensi sumber-sumber keuangan Desa. Karena terbatas, anggaran Desa tidak mampu memenuhi kebutuhan kesejahteraan perangkat Desa, pelayanan publik, pembangunan Desa apalagi kesejahteraan masyarakat Desa. Anggaran Desa sangat tidak mencukupi untuk mendukung pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan. Dengan kalimat lain ada kesenjangan fiskal antara keuangan pemerintah supraDesa dengan pemerintah Desa.

Kedua, ada kesenjangan antara tanggung-jawab dan responsivitas dengan partisipasi masyarakat dalam anggaran Desa. Partisipasi masyarakat dalam anggaran pembangunan Desa sangat besar, sementara tanggungjawab dan responsivitas sangat kecil. Sebagian besar anggaran pembangunan Desa, terutama pembangunan fisik (infrastruktur), ditopang oleh gotong-royong atau swadaya masyarakat.

Sementara besaran dana dari pemerintah sangat kecil, yang difungsikan sebagai stimulan untuk mengerahkan (mobilisasi) dana swadaya masyarakat. Padahal kekuatan dana dari warga masyarakat sangat terbatas, mengingat sebagian besar warga Desa mengalami kesulitan untuk membiayai kebutuhan dasar (papan, sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan) bagi keluarganya masing-masing.

Ketiga, skema pemberian dana pemerintah kepada Desa kurang mendorong pemberdayaan. Dulu ada dana pembangunan Desa (Inpres Bandes) selama 30 tahun yang dibagi secara merata ke seluruh Desa sebesar Rp 10 juta (terakhir tahun 1999), yang sudah ditentukan dan dikontrol dari atas, sehingga Desa tidak bisa secara leluasa dan berdaya menggunakan anggaran.

Baik Desa miskin maupun Desa kaya akan memperoleh alokasi yang sama. Saking lamanya (30 tahun) pengalaman bandes, skema seperti itu sudah mendarah daging dalam paradigma dan kebijakan pemerintah atas Desa, yang justru tidak mengangkat kesejahteraan dan kemandirian Desa.

Pemerintah daerah (kabupaten/kota) juga mempunyai anggaran (ABPD) yang disusun berdasarkan perencanaan dari bawah (Desa). Baik APBN maupun APBD umumnya kurang perhatian pada Desa. Sebesar 60% – 70% anggaran negara dan daerah dikonsumsi untuk belanja aparatur (belanja rutin).

Sisanya, sebesar 30% hingga 40% anggaran daerah digunakan untuk belanja publik untuk masyarakat, yang komposisi kasarnya sekitar 30% untuk biaya tidak langsung (administrasi) dan 70% untuk belanja langsung ke masyarakat. Dari 70% belanja langsung untuk pembangunan tersebut, jika dihitung secara kasar, terdiri dari beberapa pfalon: 20% plafon politik (untuk DPRD dan Kepala Daerah); 70% untuk plafon sektoral (pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, industri kecil, prasarana daerah, dan seterusnya); dan 10% untuk plafon spasial Desa melalui ADD. Sedangkan mayoritas (70%) plafon sektoral digunakan untuk prasarana fisik, yang tidak berkaitan langsung dengan penanggulangan kemiskinan. Dari komposisi kasar APBD itu memperlihatkan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap Desa dan orang miskin di Desa sangat lemah.

Keterbatasan keuangan Desa tersebut menjadi sebuah masalah serius, yang menjadi perhatian yang seksama baik dari kalangan pemerintah Desa, pemerintah pusat dan kabupaten maupun kalangan “sektor ketiga” (akademisi dan NGOs) yang menaruh perhatian tentang Desa. Pemerintah ternyata memberikan respons yang positif.

Pada masa Undang-undang lama maupun UU No. 22/1999, kita hanya mengenal konsep dan skema bantuan pemerintah untuk mendukung keuangan Desa, meski dalam hal keuangan daerah sudah dikenal dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Konsep “bantuan” ini tentu tidak jelas, sangat tergantung pada kebaikan hati pemerintah, sekaligus menunjukkan bahwa Desa tidak mempunyai hak atas uang negara.

Meski UU 22/1999 belum memberikan amanat tentang perimbangan atau alokasi dana kepada Desa secara jelas, tetapi sejak 2001 sejumlah pemerintah kabupaten/kota melakukan inovasi melahirkan kebijakan alokasi dana Desa (ADD) secara proporsional dengan jumlah yang lebih besar daripada bantuan keuangan sebelumnya.

Pengalaman-pengalaman yang baik dari banyak daerah ini diadopsi dengan baik oleh UU 32/2004. UU No. 32/2004 memperbaiki kelemahan yang terkandung dalam UU 22/1999 tersebut, yakni mengubah konsep “bantuan” menjadi “bagian”, yang berarti bahwa Desa mempunyai hak untuk memperoleh alokasi sebagian dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah kabupaten/kota.

Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) tersebut semakin dipertegas dalam PP No. 72/2005, yang menyatakan bahwa salah satu sumber keuangan Desa adalah “bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa sekurang-kurangnya 10% (sepuluh per seratus), setelah dikurangi belanja pegawai, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana Desa”. Klausul regulasi inilah yang dijadikan sebagai dasar hukum atas Alokasi Dana Desa (ADD).

ADD tersebut tentu merupakan amanat peraturan untuk dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Meski belum semua kabupaten/kota melaksanakannya, tetapi setelah PP No. 72/2005 lahir semakin banyak kabupaten/kota yang menyusul melaksanakan kebijakan ADD. ADD tentu memberikan suntikan darah segar dan memompa semangat baru bagi pemerintah dan masyarakat Desa. ADD jelas lebih maju dari PPK karena ADD menyatu (integrasi) dengan sistem perencanaan dan penganggaran daerah, dan dananya bukan berasal dari utang seperti PPK.

Inovasi baru ini memang tidak lepas dari berbagai dorongan yang beragam: inisiatif populis seorang bupati, dorongan dari pemerintah pusat, asistensi teknis dari sejumlah lembaga donor, serta tekanan dari oganisasi masyarakat sipil maupun asosiasi Desa. Sejak 2005/2006-2012, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan ADD karena sudah memperoleh amanat, namun masih banyak kebupatan yang belum menjalankan ADD, dan komponen masyarakat bawah juga belum mengetahui apa itu kebijakan ADD.

Tentu pelaksanaan ADD tidak luput dari banyak masalah. Salah satu masalah yang muncul adalah keterpisahan antara perencanaan daerah dengan kebutuhan lokal dan perencanaan Desa. Ketika ide ADD mulai digulirkan umumnya birokrasi kabupaten/Kota terutama dinas-dinas teknis yang mengendalikan kebijakan dan anggaran pembangunan sektoral, melakukan resistensi yang keras, bukan karena visi jangka panjang, tetapi karena mereka merasakan bakal kehilangan sebagian kapling.

Keenganan secara psikologis dinas-dinas teknis ini tampaknya masih berlanjut ketika ADD dilancarkan. Dengan berlindung pada ADD, atau karena Desa telah memiliki dana tersendiri, dinas-dinas teknis justru menjauh dan kurang responsif pada kebutuhan Desa. Di sisi lain, masalah juga muncul di Desa, terutama masalah lemahnya akuntabilitas pemerintah Desa dalam mengelola ADD. Karena itu beberapa kabupaten yang sudah berpengalaman menjalankan ADD atau yang baru saja mengeluarkan kebijakan ADD sangat peka (baca: khawatir) terhadap akuntabilitas keuangan Desa, sehingga memaksa mereka membuat rambu-rambu yang lebih ketat dalam pengelolaan ADD, meski langkah ini tidak sesuai dengan prinsip keleluasaan Desa dalam mengelola block grant.

Meskipun banyak masalah dan distorsi yang muncul, ADD di banyak kabupaten tetap memberikan banyak pelajaran berharga yang kedepan mengarah pada penguatan kemandirian Desa.

  • Pertama, pengalaman ADD telah mendorong rekonstruksi terhadap makna dan format transfer dana dari pemerintah supraDesa ke Desa.
  • Kedua, ADD telah mendorong efisiensi penyelenggaraan layanan publik, kesesuaian program dengan kebutuhan lokal, sekaligus juga meningkatkan kepemilikan lokal.
  • Ketiga, ADD sangat relevan dengan salah satu tujuan besar desentralisasi, yakni membawa perencanaan daerah lebih dekat kepada masyarakat lokal. Belajar dari pengalaman di beberapa kabupaten menunjukkan bahwa ADD semakin membuat perencanaan Desa lebih bermakna dan dinamis. Secara kelembagaan ADD telah membawa perubahan pada aspek perencanaan daerah, yakni munculnya pola perencanaan Desa. Dampaknya, pola ini semakin mendekatkan perencanaan pembangunan kepada masyarakat Desa, dan sebaliknya, masyarakat Desa mempunyai akses yang lebih dekat pada pusat perencanaan.
  • Keempat, ADD menjadi arena baru bagi pembelajaran lokal dalam mengelola desentralisasi.
Namun dana ADD tentu tidak sebanding dengan problem keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat Desa, sehingga berdasarkan perhitungan nominal ADD ibarat hanya “menggarami air laut”. Dana sebesar 100 juta hingga 200 juta jelas dangat tidak cukup untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kekurangan pelayanan dasar. ADD tentu tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat.

Diolah dari sumber: rajawaligarudapancasila.blogspot.com, penulis: Turiman Fachturahman, 22 Januari 2014

Peran, Tujuan dan Usaha Lembaga Keuangan Desa

Gunawan Kusumo, 26 Mei 2014 | Lembaga keuangan desa adalah sebuah usaha desa dalam pengembangan perekonomian di daerahnya. Desa yang yang memiliki lembaga keuangan yang baik akan mampu mengelola keuangan desa yang ada menjadi sebuah usaha desa yang dapat membantu meningkatkan potensi usaha desa yang ada. LKD itu penting adanya dalam pengembangan Desa Mandiri Pangan, untuk itu lembaga tersebut perlu terus dikembangkan permodalannya.


Peran Lembaga Keuangan Desa diantaranya adalah :

  1. Secara aktif dalam upaya mempertinggi kwalitas kehidupan manusia dan masyarakat
  2. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan ketahanan perekonomian nasional
  3. Berpartisipasi dalam kegiatan usaha
  4. Sebagai lembaga pemberdayaan yang merupakan wahana integrasi sosial dan menjembatani
Sebagai mitra NGO, Pemerintah dan Swasta dalam upaya pelayanan masyarakat kecil melalui pelayanan air bersih dan kesehatan lingkungankesenjangan sosial – ekonomi, wilayah, golongan, agama dan etnis. Apabila lembaga tersebut punya peran penting sudah barang tentu mempunyai tujuan yang baik..Lembaga ini bertujuan untuk meningkatkan tarap hidup sosial dan ekonomi para anggotanya.

Adapun usahanya adalah :

  • Menerima dana dari anggota dalam bentuk iuran wajib, sukarela dan iuran lainnya
  • Mengusahakan upaya-upaya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan bagi calon anggota, anggota dan pengurus secara terus menerus dan teratur sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan.
  • Memobiliasi swadaya anggota secara teratur dan terarah
  • Mengusahakan pinjaman terutama untuk usaha-usaha produktif anggota dengan cara-cara yang tepat
  • Mengembangkan usaha-usaha di bidang produksi, penguasaan hasil produksi, serta usaha-usaha pelayanan kebutuhan usaha maupun keluarga
  • Mengembangkan tatalaksana iuran pemeliharaan sarana dan prasarana air bersih
  • Bekerjasama dalam kegiatan masyarakat berdasarkan kesetiakawanan yang menjunjung pertumbuhan dan pengembangan lembaga
Setiap anggota LKD juga memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Hak dan Kewajiban yang akan menciptakan kinerja yang baik dalam pengelolaannya. Apa saja hak dan kewajiban yang harus dipenuhi?
Hak anggota LKD :

  • Menghadiri, menyatakan pendapat, dan memberikan suara dalam pertemuan anggota atas dasar atau anggota satu suara
  • Memilih dan atau dipilih menjadi Pengurus/Badan Penasehat
  • Meminta diadakan pertemuan anggota menurut ketentuan dalam anggaran dasar
  • Mengemukakan pendapat atau saran kepada pengurus di luar pertemuan baik diminta atau tidak
  • Mendapat pelayanan dan pembinaan yang sama
  • Melakukan pengawasan atas jalannya lembaga
  • Menikmati hasil-hasil usaha seperti yang diatur sebelumnya
Setiap anggota mempunyai kewajiban :

  • mentaati dan melaksanakan AD-ART/aturan LKD
  • membela kepentingan dan nama baik LKD
  • ikut hadir dan aktif mengambil peranan dalam pembuatan AD-ART serta mentaati keputusannya
  • menabung dan membayar iuran secara teratur
  • ikut menanggung resiko usaha-usaha lembaga sesuai AD-ART
Siapakah pengurus dari LKD yang nantinya akan mengelola keuangan desa secara baik? Pengurus Lembaga ini terpilih dari, oleh dan dalam rapat anggota ( pleno masyarakat ) dan yang dapat dipilih menjadi pengurus lembaga ini adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut   :

  1. jujur,aktif,mampu/trampil bekreja dan mempunyai dedikasi terhadap lembaga ini
  2. mempunyai pengertian dan wawasan yang cukup thdp kelompok & tatalksana lembaga ini
  3. Masih banyak hal – hal lain yang belum tertuang, namun demikian kami tetap berharap semoga bernanfaat.
Diolah dari sumber: bkpp.jogjaprov.go.id, 15 April 2014