Lahirnya UU 6/2014 tentang Pemerintahan Desa, tampaknya
masih membutuhkan kesiapan pelaksanaannya dalam berbagai aspek yang
serius. Kesiapan itu baik di tingkat atas (pemerintah pusat) maupun
level bawah (grass roots) di desa sendiri.
Salah satu tampak jelas terkait perubahan nomenklatur kementerian
untuk mengurusi dana desa. Belum ada titik temu bahwa Kemendagri akan
menyerahkan atau tidak Ditjen PMD ke Kementerian Desa, PDT dan
Transmigrasi. Karena itu, diyakini bila penyerahan dilakukan, komitmen
pembangunan desa akan segera terwujud.
Sementara UU Desa baru itu melahirkan karakteristik unik desa dalam
struktur formal kelembagaan negara Republik Indonesia. Itu masih
menyisakan keraguan akan terlaksana dengan baik. Setidaknya, ada tiga
aspek yang problematik dialami desa. Ketiganya menyangkut kesiapan
personel aparatur pemerintahan desa, penerapan, dan penggunaan anggaran
maupun peningkatan fungsi pelayanan masyarakatnya seiring tingginya dana
yang diperoleh.
Anggaran Rp1,4 miliar tiap desa per tahun yang diamanatkan UU Desa
memang memunculkan kekhawatiran tersendiri akan efektivitas dan
transparansi penggunaannya. Jumlah sebesar itu tidak tepat sasaran
bahkan akan sia-sia tanpa kesiapan yang optimal dari tingkat pusat
hingga desa. Lantas hal-hal apa saja yang menjadi problem dalam sistem
pemerintahan desa yang baru ini? Apakah desa sudah siap dalam
pelaksanaan UU Desa? Kesiapan apa yang diperlukan dalam tegaknya
penerapan UU Desa ini?
Rentan Kesiapan
UU tersebut ditujukkan guna meningkatkan partisipasi dan gotong
royong masyarakat dalam pembangunan desa. Tujuan itu menunjukkan bahwa
kehendak bottom up dalam berjalannya fungsi pemerintahan. Dalam konsep
demikian, masyarakat desa sudah saatnya menjadi pelaku utama dalam
kegiatan pembangunan di desanya. Tentu peran serta itu harus diikuti
dengan tingkat pemahaman yang memadai. Untuk itu, peran pemerintah masih
sangat diperlukan dalam sosialisasi UU ini.
Selain itu, UU juga berfungsi mempercepat pembangunan desa dan
kawasan perdesaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa.
Artinya, di bawah UU No 6 Tahun 2014 berarti memberikan harapan baru
guna meningkatkan peran aparat pemerintah desa sebagai garda terdepan
dalam pembangunan dan kemasyarakatan.
Saat pelaksanaan UU Desa yang kian mendesak berhadapan dengan
perubahan struktur pemerintahan desa yang belum tertata, hal tersebut
membuat kondisi menjadi rentan. Bila itu tidak segera diterapkan, akan
melanggar UU. Namun, kalau hal tersebut dipaksakan dengan kesiapan yang
minim, bisa menjadikan kondisi yang amburadul. Penerapan hanya berhenti
pada tataran formalnya. Sementara secara substansi tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Memang dalam penerapan sebuah tata kerja yang baru tidak bisa
langsung dilakukan dengan sempurna. Namun, kesiapan pemerintahan desa
akan lebih meminimalkan persoalan yang terjadi sehingga tujuan utama
penerapan UU Desa akan menjadi kenyataan.
Problem di Bawah
Pengawasan yang dilakukan terhadap desa selama ini masih ada sejumlah
permasalahan yang menjadi temuan. Temuan ini menunjukkan bahwa banyak
desa yang belum memiliki kesiapan memadai dalam penerapan UU Desa yang
baru. Temuan itu terkait proses dan administrasi pemerintahan yang harus
segera diakhiri agar desa bisa berfungsi dengan baik. Temuan yang masih
terjadi, di antaranya surat pertanggung jawaban (SPJ) yang belum
memenuhi syarat formal dan material. Kemampuan kepala desa berikut
aparaturnya masih menjadi kendala.
Selain itu, sering pula pemeriksaan atasan langsung atas pengelolaan
keuangan belum dilaksanakan sesuai ketentuan dan pengelolaan pembangunan
dan administrasi pelaksanaan kegiatan belum tertib. Di samping
kemampuan, kedisiplinan ternyata turut mendukung kekarutmarutan
pemerintahan desa.
Lebih parah lagi, pada hal tersebut sering dialami ketekoran kas desa
karena terjadinya penyimpangan pengelolaan keuangan desa. Bentuk
lainnya berupa tunggakan sewa tanah kas desa serta belum lengkapnya buku
administrasi keuangan ataupun barang desa. Keadaan itu rentan menjadi
indikasi penyelewengan keuangan desa, seperti pemakaian keuangan desa
tanpa laporan.
Di samping itu, kerap timbul penyelewengan dalam pengelolaan keuangan
begitu pula dengan aset desa. Hal tersebut akibat inventarisasi serta
sistem pembukuan administrasi yang buruk, di antaranya tidak tertib
dalam pembukuan administrasi keuangan, baik buku kas umum (BKU) maupun
buku bantu, bahkan ada pula desa yang tidak membuat BKU. Masih banyak
hal yang menjadi kelemahan desa yang harus dibenahi dan dipersiapkan
untuk menghadapi UU baru di desa.
Menyiapkan
Pelaksanaan sistem pemerintahan desa di bawah UU Desa yang baru
menuntut kesiapan yang sangat baik. Berbagai hal harus diperhitungkan,
direncanakan, dan diawasi pelaksanaannya terus menerus. Termasuk
diperlukan pengarahan, penyuluhan, bahkan pendampingan agar benar-benar
dilaksanakan sesuai aturan yang ada. Sejumlah upaya bisa dilakukan untuk
meningkatkan kesiapan pelaksanaan pemerintahan desa.
Pertama, meningkatkan kematangan dalam melaksanakan peraturan yang
terkait dengan pemerintahan desa. Pematangan itu dalam bentuk
peningkatan terus menerus terhadap pemahaman terhadap materi UU No 6
Tahun 2014 tentang Desa. Tidak hanya UU saja, tetapi juga PP No 43 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Demikian juga PP No 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari
APBD. Pematangan itu meliputi tingkat pemerintah pusat, daerah, hingga
ke desa.
Kedua, penyiapan agar segenap pihak terkait bisa memiliki respons
dengan cara yang benar terhadap sistem pemerintahan desa yang baru.
Respons itu akan menentukan keberhasilan tujuan diterapkannya UU Desa
ini. Yang termasuk dalam upaya itu ialah meningkatkan sikap mawas diri
aparatur sebagai tindak cegah melakukan pelanggaran, penyalahgunaan, dan
penyimpangan dalam pemerintahan desa.
Ketiga, menyiapkan tenaga yang memiliki minat dan motivasi serta
disiplin cukup dalam melaksanakan pemerintahan desa. Langkah itu bisa
ditempuh melalui perekrutan personil yang berkemampuan memadai. Bagi
aparatur yang sudah ada, cara itu ditempuh melalui pendidikan dan
pelatihan secara teratur dan berkelanjutan.
Keempat, penentuan tingkatan yang harus dicapai aparatur, baik desa
maupun tingkatan di atasnya. Bagi aparatur desa dituntut memiliki
kemampuan dalam penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa, penyusunan APB Desa,
maupun penyusunan LPJ Desa. Demikian pula dalam menyusun administrasi
pembukuan dan aset pemerintah desa.
Pengalaman menunjukkan bahwa ketidakmatangan dalam penerapan sistem
otonomi daerah beberapa waktu lalu telah mengakibatkan fungsinya jauh
panggang dari api. Hal itu tidak boleh terjadi terhadap desa kita.
Kesiapan yang lebih baik akan jauh bermanfaat daripada penerapan yang
tergesa-gesa dan dipaksakan. Namun, berkutat pada hal-hal yang tidak
mengutamakan kepentingan rakyat desa sehingga menjadi hambatan, juga
bukan tindakan yang bijak.
Diolah dari sumber: metrotvnews.com, penulis: Suyatno (analis politik pemerintahan pada FISIP Universitas Terbuka), 9 Januari 2015
0 komentar:
Posting Komentar