Seiring dengan akan ditetapkannya Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) 2015, UU Desa akan segera memasuki fase
penentuan dalam implementasinya. Permasalahannya, bukan hanya bagaimana
memenuhi ekspektasi berbagai pihak terhadap besaran Dana Desa, tetapi
juga bagaimana merumuskan suatu formula alokasi yang ideal.
Alokasi tersebut di satu sisi, tentunya diharapkan bisa memenuhi rasa
keadilan bagi semua pihak. Namun, di sisi lain tidak menimbulkan beban
keuangan negara yang terlalu berat. Faktor kesiapan aparat Desa untuk
mengimplementasikan UU Desa dan peraturan pelaksanaannya juga memegang
peranan sangat penting.
Selain itu, efektivitas monitoring dan evaluasi terhadap Dana Desa
mutlak diperlukan untuk memastikan penggunaan Dana Desa benar-benar
mampu memajukan perekonomian masyarakat. Mencermati RAPBN 2015, pos
Transfer ke Daerah dan Dana Desa dianggarkan sebesar Rp 640 triliun.
Angka tersebut terdiri dari Transfer ke Daerah sebesar Rp 630,9 triliun,
dan Dana Desa sebesar Rp 9,1 triliun.
Bila mengacu pada UU Desa yang menentukan besaran alokasi Dana Desa
sebesar 10 persen dari—dan di luar—Dana Transfer ke Daerah, tentu
kisaran dana Rp 9 triliun masih jauh dari yang diharapkan. Namun, agar
tak menimbulkan kesalahan persepsi, ada beberapa hal yang perlu dipahami
terkait sejumlah faktor yang menyebabkan Dana Desa tidak bisa langsung
dialokasikan sebesar yang ditentukan UU.
Pertama, Ketentuan besaran alokasi Dana Desa sebesar 10 persen dari
Dana Transfer ke Daerah dilakukan secara bertahap. Jadi, tidak harus
langsung sebesar 10 persen pada saat UU Desa diimplementasikan di tahun
pertama.
Kedua, ketentuan tentang besaran alokasi Dana Desa sebesar 10 persen
dari Dana Transfer ke Daerah tersebut hanya terdapat pada bagian
penjelasan, bukan pada batang tubuh. Padahal, sesuai dengan Lampiran I
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
sebuah penjelasan tidak dapat berisi rumusan norma baru ataupun
memperluas, mempersempit, dan menambah norma yang terkandung dalam pasal
di batang tubuh peraturan perundang-undangan.
Ketiga, anggaran Pendapatan 2015 lebih kecil daripada anggaran
Belanja, sehingga terdapat defisit APBN sebesar Rp 257,6 triliun. Jumlah
tersebut setara dengan 2,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
menggariskan, defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dari PDB
sebagai bentuk kehati-hatian. Apabila Dana Desa dialokasikan sebesar 10
persen dari Dana Transfer, yang berarti lebih dari Rp 60 triliun, maka
tentu akan menambah defisit dan semakin memperberat beban APBN kita.
Keempat, Sesuai dengan Pasal 72 ayat (2) UU Desa, alokasi anggaran
Dana Desa bersumber dari belanja Pemerintah dengan mengefektifkan
program yang berbasis Desa. Ketentuan ini dibuat dengan pertimbangan
bahwa selama ini sebenarnya sudah ada anggaran dari APBN yang disalurkan
ke Desa, melalui berbagai program dan kegiatan Kementerian dan Lembaga
(K/L).
Apabila seluruh Dana Desa berasal dari fresh money atau on top, tentu
akan sangat memberatkan APBN. Kementerian Keuangan telah melakukan
identifikasi anggaran K/L yang berbasis Desa, yang nantinya akan
direalokasi menjadi Dana Desa.
Angka yang diperoleh adalah sebesar Rp 9.066.190.682.000. Angka
inilah yang menjadi dasar penyusunan alokasi Dana Desa dalam RAPBN
sebesar Rp 9.066.200.000.000. Perlu diketahui bahwa mengalihkan anggaran
Kementerian/Lembagai menjadi Dana Desa tidaklah semudah membalik
telapak tangan. Semua Kementerian dan Lembaga mempunyai prioritas
nasional yang membutuhkan anggaran untuk mencapainya.
Diperlukan pembahasan secara komprehensif antara Kementerian Keuangan
dan semua Kementerian/Lembaga yang mempunyai anggaran, yang
memungkinkan untuk direalokasi menjadi Dana Desa. Dalam lingkup yang
lebih besar, keseimbangan APBN juga harus dijaga agar defisit anggaran
tetap dalam batas yang realistis.
Diolah dari sumber: katadata.co.id, penulis: Dhani Kurniawan, 14 September 2014
0 komentar:
Posting Komentar