Gerakan pembangunan selama ini sering kali jadi bias
kepentingan politik. Atmosfir semacam itu berdampak pada pelayanan
publik yang tidak merata. Ada desa yang selalu mendapatkan proyek-proyek
dari tahun ke tahun, atau bahkan bisa bertumpuk proyek secara
bersamaan, namun ada desa yang sama sekali tidak pernah mendapat bagian
“kue” pembangunan. Kondisi semacam ini disamping menciptakan kecemburuan
antara masyarakat juga membangun rasa enggan, apatis, bahkan kebencian
pada pemerintah bagi desa yang tidak pernah kebagian kue pembangunan
tersebut.
Dengan adanya Dana Desa, desa-desa yang tertinggal sebagaimana
diperlihatkan dari rendahnya kualitas jalan, besarnya penduduk miskin
akan memperoleh anggaran yang labih besar. Hal ini karena kebijakan Dana
Desa menjawab permasalahan yang krusial di desa tertinggal dengan
anggaran yang lebih baik. Skema pemberian Dana Desa yang langsung kepada
desa dan dengan jumlah yang begitu besar maka kekecewaan masyarakat
terhadap pembangunan merupakan kisah lama, dan kisah lama ini
menceritakan betapa mereka tidak pernah didengar oleh pemerintah.
Peperintah desa sudah berupaya menyuarakan kepentingan masyarakatnya,
tetapi tidak pernah ada dana yang jelas untuk realisasinya.
Kondisi di atas adalah salah satu potret kekecewaan desa karena sudah
bertahun-tahun usulan mereka tidak dipenuhi. Desa sudah menganggap
tidak perlu lagi membuat usulan karena toh usulan tersebut kemungkinan
kecil dipenuhi.
Dana Desa yang menjadi instrumen untuk mengurangi kesenjangan
pembangunan desa dari kota. Akses pelayanan publik di kota lebih jauh
lebih cepat berkembang dari pada di desa yang membuat budaya masyarakat
desa untuk melakukan perantauan ke kota. Mendapat pekerjaan yang lebih
baik, mencari ilmu, maupun mengais rejeki yang lain. Adanya Dana Desa
bertujuan untuk merubah budaya yang sedemikian rupa, dan beralih dengan
kemandirian desa untuk membangun desanya.
Diolah dari sumber: Alokasi Dana Desa, penulis: Sutoro Eko, 2007. (hal 91-93)
0 komentar:
Posting Komentar